Pilihan Hati
Kugerakkan kakiku yang telah memutih karena sejak dua jam lalu terendam air. Dulu, waktu kecil, kata amak aku selalu begini kalau sedang ngambek ataupun bila aku ada masalah. Duduk di atas batu, bermain air, dan melamun. Pernah suatu sore, aku ngambek gara – gara apak tidak mau mengantarkanku ke kota Bukittinggi.atau ketika aku tak bisa memilih barang – barang yang aku sukai di pasar senen. Aku tidak mau pulang, hingga akhirnya amak menjemputku kesini, walaupun aku tak bilang kalau pergi ke sini. Mungkin karena rumah kami agak dekat dengan sungai batang hari ini. Amak ? apak ? entah mengapa hatiku selalu perih dan sesak dengan rindu jika mengingat keduanya.
Dulu, walaupun tak ada darah bangsawan mengalir di keluargaku, aku selalu beranggapan bahwa aku terlahir sebagai seorang putri sebuah kerajaan. Kerajaan kecil yang bahagia yang memiliki raja dan ratu yang penyayang. Betapa tidak? Aku anak tunggal, semua sepupuku pun lelaki. Amak dan apak sangat menyayangiku. Di sela – sela keletihannya karena seharian bekerja di sawah, amak tetap menyempatkan diri mendengarkan cerita – ceritaku dan mendongengkanku hingga terlelap di pangkuannya. Sedangkan apak? Lelaki yang paling kuat di mataku itu selalu membawakanku hasil – hasil kebun yang paliii..ng bagus dan selalu memarahi anak lelaki yang menjahiliku. Hidupku tentram, aman, bak seorang putri di rumah gadang bak istana.
Tak heran, karena itu jugalah aku berandai – andai, sebagai seorang putri seharusnya ku bebas menentuka pilihan dan menggapi cita – citaku. Namun, bila dongeng putri dalam dongeng berakhir bahagia, ceritaku tampaknya tak menemukan ending yang baik. Banjir sungai yang menenggelamkan sawah kami akibat hujan deras beberapa hari itu telah merenggut segalanya yang kumiliki. Apak terseret banjir saat berusaha menolong uda Aan, tetanggaku, yang terseret arus air. Dengan susah payah, akhirnya Apak berhasil menolong uda Aan. Lega hatiku.namun ternyata hanya sedetik, tempat bapak berpijak ternyata rapuh.
“Apak….!!! Mak…kita tolongin apak….”
“jangan Mayang, kito ndak bisa baranang….”
“Apaaaak…..”
hanya jeritan yang keluar dari mulutku diselingi istighfar dari perempuan tabah yang terus memelukku yang kedinginan dan ketakutan.
Sosok tubuh yang selalu menggendongku jika aku lelah berjalan itu lenyap tertelan arus. Orang – orang dewas berusaha menyelamatkan. Aku dan amak menjerit menyaksikan pemandangan itu dari tepian. Terlebih lagi ketika orang – orang yang tadi berusaha menolong apak kini kembali ketepian Bersama tubuh apak yang tak lagi bernapas, nadinya tak lagi berdenyut…
“Tidaaak.. ya Allah…!” Jeritan amak mengagetkanku. Perlahan pelukannya mengendur. Amak pingsan!
…………………
Sejak saat itu jalan hidupku berubah total bak Cinderella ketika bapaknya pergi berdagang, hanya saja kalau di Cinderella sang bapak akan pulang kembali, tapi tidak untuk bapakku. Amak mulai sakit – sakitan. Dan akhirnya pun menyusul apak dua tahun kemudian. Semua peninggalan amak dan apak diambil alih mamakku, termasuk rumah yang kini kutinggali bersama keluarga mamak dan kebun, serta sawah – sawah kami. Cita – citaku untuk jadi dokter kandas seketika.. makan dan uang jajanku diatur mamak. Tak jarang cacian dan makian kudapat. Terlebih ketika aku telah lulus SMP.
“Kau tu jangan minta pitih sajo, carilah kerja……banyak pitih yang habis untuk menyekolahkanmu” ucap mamak ketika kuutarakan keinginanku. Aku bengong. Aku banyak menghabiskan uang? Ya, kuakui itu. Tapi yang kupakai untuk sekolah dan hidup adalah uang hasil penjualan sawah amak dan apak. Apakah aku salah?
“Kau lihat si anak ajo itu? Sekarang dia sudah bisa cari pitih..di Jakarta lagi..” etek menimpali.
Memang telah kudengar tentang Echie, anaknya ajo, mantan teman SD-ku yang telah sukses di Jakarta. Ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah kudengar telah dikirimkannya kepada orang tuanya. Memang enak dan menarik untuk orang – orang sekampungku. Tapi aku tahu pekerjaan seperti apa yang digelutinya. Na uzubillah… biarlah aku sekolah disini sambil mengurusi sawah. Toh aku tetap berusaha bekerja.
Selain itu, mamak selalu ikut campur dalam urusanku. Hingga beberapa tahun yang lalu.
“Mamak, Mayang lulus UMPTN di Jakarta, jurusan kedokteran…” kataku saat lulus SMU.
“Kau tuh ngapain kuliah tinggi – tinggi, nanti juga turun ke dapur.. buat apa? Mending kau urus tuh sawah apak kau, mamak capek mengurusnya.”
Lho, kok? Bukankah selama ini mamak dan etek makan dari hasil sawah itu? Pikirku.
“Kuliah tuh mahal…ndak usah buang – buang pitih! Mangarati!”
“Tapi mamak…May masih punya ini..” aku menyodorkan satu – satunya peninggalan amak untukku sebelum wanita yang sangat kucintai itu pergi untuk selamanya. Bungkusan lusuh berisi perhiasan amak.
“ Mamak boleh memakai sisa hasil penjualannya.”ucapku. Mamak terdiam sesaat. Berpikir sebentar. Lalu…“Ya sudah, kapan kau nak pergi?”
“Seminggu lagi, terima kasih mamak.” Aku bergegas ke kamar. Senang. Amak, apak, sesuai aku akan membuatmu bangga di sana. Terima kasih ya Allah.
…………………..
Di Jakarta, aku tinggal di rumah kos kecil dan sederhana. Minggu – minggu pertama kuliah masih belum padat. Jadi kuputuskan untuk mencari kerja sampingan.karena tak mungkin aku harus terus meminta kepada mamak. Alhamdulillah, melalui Hanni,sahabatku, kudaptkan kerja sambilan di sebuah butik islam yang di kelola oleh seniorku di kampus.
Hari – hariku berjalan dengan baik. IP-ku yang melewati angka tiga lebih memudahkanku untuk mencari pekerjaan sampingan yang lain. Sesekali surat dari mamak atau etek datang. Kadang berisi keluhan – keluhan tentang panen yang kurang bagus, tingkat kesuburan tanah sawah yang menurun, sampai kambing yang susah diatur. Semua kusikapi dengan sabar. Lupa sudah kehidupanku di masa lalu. Toh, tidak ada salahnya aku berbakti kepada mereka yang juga telah membesarkanku. Pikirku.
“ Mayang….”
Sebuah suara menyadarkan dari lamunan. Ternyata Fitri, teman sepermainanku sejak kecil.
“Eh, fit…tumben pai ka siko?” sahutku.
“Tumben ? yo…gimana aku nggak kesini..si tuan putrinya ndak ado di rumah”
“Hu….trus?”
“Trus apa bu dokter? Harusnya aku yang nanyain bu dokter” sejak dulu, sejak aku diterima kuliah di kedokteran fitri memang selalu memanggilku bu dokter.
“Nanya apa fit?”
“ Ya nanya tentang perjodohan itu..tentang mamakmu itu …”
“Entahlah fit, aku jadi ragu…bagaimanapun mamak adalah orang yang sudah membesarkanku setelah amak dan apak..”
Aku tertunduk. Tanpa sepengetahuanku ternyata mamak telah menjodohkanku dengan anak pak wali di nagari kami setahun yang lalu. Tepat setelah kelulusanku. Ketika kutanyakan hal it ekpada mamak..
“ untuk apa? Kau batanyo untuk apo den manikahkan kau dengan anak pak wali itu? Mayang…kau tahu berapa banyak gadih minang yang ingin menjadi menantunya? Anaknya itu orang pandai, kaya, terpandang… di minang kabau ini gadih yang harus membeli..tapi kau? Dia rela membayar mas kawin berapapun untukmu, lalu apa lagi yang kau risaukan?”
begitulah jawaban mamak atas pertanyaanku. Apa yang kurisaukan? Harusnya itu tak perlu kujawab karena mamak sendiri pasti tahu hal itu. Syamsul yang di jodohkannya denganku itu seorang pemabuk, suka berfoya – foya dengan harta orang tuanya, suka hura – hura, dan mempermainkan perempuan. Haruskan aku menikah dengan orang yang seperti itu? Lalu bagaimana keluargaku kelak? Sedangkan untuk membawanya ke jalan yang benar? Entahlah, aku merasa tak sanggup.
“Mayang….”
Fitri menatap mataku yang mulai berair.
“ Mayang, kita memang harus berbakti kepada kedua orang tua kita, dan dalam hal ini mamak dan etekmulah yang telah membesarkanmu dan menggantikan peran orang tuamu..”
“Ya, Fit.. aku tidak mau menjadi anak yang durhaka..”
“Tapi may.. yang harus kamu ingat, taat kepada keduanya memang di haruskan, tapi selama itu tidak menyimpang kepada yang buruk, sedangkan hidayah tergantung kepadaNYA may..karena Allahlah yang akan menurunkan hidayahnya kepada orang yang dikehendakinya.. dan tentu saja dengan usaha manusia itu sendiri, ataupun dengan bantuan orang di sekelilingnya..”
Aku menatap aliran sungai beberapa saat. Lalu..
“Terima kasih Fit…yuk kita pulang…” ajakku.
“Lho?! Aku kan belum jawab kalau aku memilih sepertimu, apa yang akan kupilih…”
“ Nggak, aku sudah punya jawabannya, doakan aku ya agar kuat dan sabar menghadapi ujian ini, ok? May we go home?.”
“Haah…?! Tau begitu aku nggak susah – susah deh jemputin kamu kesini, mana pulangnya kan tanjakan…huu….” Bibir Fitri mengerucut. Aku nyengir.
“ Kan ada teman sama – sama merasakan capek…he..he…”jawabku setelah bersiap berlari menaiki tanjakan, sebelum tangan Fitri sempat mencubitku. Bismillah…akan kutapaki langkah baru, walaupun harus mendaki tanjakan batu seperti ini, karena tanjakan ini pasti berlalu, dan akan kujumpai tanah yang datar.
——Selesai—-
kito ndak bisa baranang : kita tidak bisa berenang
tumben pai ka siko? : tumben pergi kesini?
Kau batanyo untuk apo den manikahkan kau : kamu bertanya untuk apa aku menikahkanmu
Gadih : gadis