Pilihan Hati

Pilihan Hati

Kugerakkan kakiku yang telah memutih karena sejak dua jam lalu terendam air. Dulu, waktu kecil, kata amak aku selalu begini kalau  sedang ngambek ataupun bila aku ada masalah. Duduk di atas batu, bermain air, dan melamun. Pernah suatu sore, aku ngambek gara – gara apak tidak mau mengantarkanku ke kota Bukittinggi.atau ketika aku tak bisa memilih barang – barang yang aku sukai di pasar senen. Aku tidak mau pulang, hingga akhirnya amak menjemputku kesini, walaupun aku tak bilang kalau pergi ke sini. Mungkin karena rumah kami agak dekat dengan sungai batang hari ini.  Amak ? apak ? entah mengapa hatiku selalu perih dan sesak dengan rindu jika mengingat keduanya.

Dulu, walaupun tak ada darah bangsawan mengalir di keluargaku, aku selalu beranggapan bahwa aku terlahir sebagai seorang putri sebuah kerajaan. Kerajaan kecil yang bahagia yang memiliki raja dan ratu yang penyayang. Betapa tidak? Aku anak tunggal, semua sepupuku pun lelaki. Amak dan apak sangat menyayangiku. Di sela – sela keletihannya karena seharian bekerja di sawah, amak tetap menyempatkan diri mendengarkan cerita – ceritaku dan mendongengkanku hingga terlelap di pangkuannya. Sedangkan apak? Lelaki yang paling kuat di mataku itu selalu membawakanku hasil – hasil kebun yang paliii..ng bagus dan selalu memarahi anak lelaki yang menjahiliku.  Hidupku tentram, aman, bak seorang putri di rumah gadang bak istana.

Tak heran, karena itu jugalah aku berandai – andai, sebagai seorang putri seharusnya ku bebas menentuka pilihan dan menggapi cita – citaku. Namun, bila dongeng putri dalam dongeng berakhir bahagia, ceritaku tampaknya tak menemukan ending yang baik. Banjir sungai yang menenggelamkan sawah kami akibat hujan deras beberapa hari itu telah merenggut segalanya yang kumiliki.  Apak terseret banjir saat berusaha menolong uda Aan, tetanggaku, yang terseret arus air. Dengan susah payah, akhirnya Apak berhasil menolong uda Aan. Lega hatiku.namun ternyata hanya sedetik, tempat bapak berpijak ternyata rapuh.

“Apak….!!! Mak…kita tolongin apak….”

“jangan Mayang, kito ndak bisa baranang….”

“Apaaaak…..”

hanya jeritan yang keluar dari mulutku diselingi istighfar dari perempuan tabah yang terus memelukku yang kedinginan dan ketakutan.

Sosok tubuh yang selalu menggendongku jika aku lelah berjalan itu lenyap tertelan arus. Orang – orang dewas berusaha menyelamatkan. Aku dan amak menjerit menyaksikan pemandangan itu dari tepian. Terlebih lagi ketika orang – orang yang tadi berusaha menolong apak kini kembali ketepian Bersama tubuh apak yang tak lagi bernapas, nadinya tak lagi berdenyut…

“Tidaaak.. ya Allah…!” Jeritan amak mengagetkanku. Perlahan pelukannya mengendur. Amak pingsan!

…………………

 

Sejak saat itu jalan hidupku berubah total bak Cinderella ketika bapaknya pergi berdagang, hanya saja kalau di Cinderella sang bapak akan pulang kembali, tapi tidak untuk bapakku. Amak mulai sakit – sakitan. Dan akhirnya pun menyusul apak dua tahun kemudian. Semua peninggalan amak dan apak diambil alih mamakku, termasuk rumah yang kini kutinggali bersama keluarga mamak dan kebun, serta sawah – sawah kami. Cita – citaku untuk jadi dokter kandas seketika.. makan dan uang jajanku diatur mamak. Tak jarang cacian dan makian kudapat. Terlebih ketika aku telah lulus SMP.

“Kau tu jangan minta pitih sajo, carilah kerja……banyak pitih yang habis untuk menyekolahkanmu” ucap mamak ketika kuutarakan keinginanku. Aku bengong. Aku banyak menghabiskan uang? Ya, kuakui itu. Tapi yang kupakai untuk sekolah dan hidup adalah uang hasil penjualan sawah amak dan apak. Apakah aku salah?

“Kau lihat si anak ajo itu? Sekarang dia sudah bisa cari pitih..di Jakarta lagi..” etek menimpali.

Memang telah kudengar tentang Echie, anaknya ajo, mantan teman SD-ku yang telah sukses di Jakarta. Ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah kudengar telah dikirimkannya  kepada orang tuanya. Memang enak dan menarik untuk orang – orang sekampungku. Tapi aku tahu pekerjaan seperti apa yang digelutinya. Na uzubillah… biarlah aku sekolah disini sambil mengurusi sawah. Toh aku tetap berusaha bekerja.

Selain itu, mamak selalu ikut campur dalam urusanku. Hingga beberapa tahun yang lalu.

“Mamak, Mayang lulus UMPTN di Jakarta, jurusan kedokteran…” kataku saat lulus SMU.

“Kau tuh ngapain kuliah tinggi – tinggi, nanti juga turun ke dapur.. buat apa? Mending kau urus tuh sawah apak kau, mamak capek mengurusnya.”

Lho, kok? Bukankah selama ini mamak dan etek makan dari hasil sawah itu? Pikirku.

“Kuliah tuh mahal…ndak usah buang – buang pitih! Mangarati!”

“Tapi mamak…May masih punya ini..” aku menyodorkan satu – satunya peninggalan amak untukku sebelum wanita yang sangat kucintai itu pergi untuk selamanya. Bungkusan lusuh berisi perhiasan amak.

“ Mamak boleh memakai sisa hasil penjualannya.”ucapku. Mamak terdiam sesaat. Berpikir sebentar. Lalu…“Ya sudah, kapan kau nak pergi?”

“Seminggu lagi, terima kasih mamak.” Aku bergegas ke kamar. Senang. Amak, apak, sesuai aku akan membuatmu bangga di sana. Terima kasih ya Allah.

…………………..

Di Jakarta, aku tinggal di rumah kos kecil dan sederhana. Minggu – minggu pertama kuliah masih belum padat. Jadi kuputuskan untuk mencari kerja sampingan.karena tak mungkin aku harus terus meminta kepada mamak. Alhamdulillah, melalui Hanni,sahabatku, kudaptkan kerja sambilan di sebuah butik islam yang di kelola oleh seniorku di kampus.

Hari – hariku berjalan dengan baik. IP-ku yang melewati angka tiga lebih memudahkanku untuk mencari pekerjaan sampingan yang lain. Sesekali surat dari mamak atau etek datang. Kadang berisi keluhan – keluhan tentang panen yang kurang bagus, tingkat kesuburan tanah sawah yang menurun, sampai kambing yang susah diatur. Semua kusikapi dengan sabar. Lupa sudah kehidupanku di masa lalu. Toh, tidak ada salahnya aku berbakti kepada mereka yang juga telah membesarkanku. Pikirku.

“ Mayang….”

Sebuah suara menyadarkan dari lamunan. Ternyata Fitri, teman sepermainanku sejak kecil.

“Eh, fit…tumben pai ka siko?” sahutku.

“Tumben ? yo…gimana aku nggak kesini..si tuan putrinya ndak ado di rumah”

“Hu….trus?”

“Trus apa bu dokter? Harusnya aku yang nanyain bu dokter” sejak dulu, sejak aku diterima kuliah di kedokteran fitri memang selalu memanggilku bu dokter.

“Nanya apa fit?”

“ Ya nanya tentang perjodohan itu..tentang  mamakmu itu …”

“Entahlah fit, aku jadi ragu…bagaimanapun mamak adalah orang yang sudah membesarkanku setelah amak dan apak..”

Aku tertunduk.  Tanpa sepengetahuanku ternyata mamak telah menjodohkanku dengan anak pak wali di nagari kami setahun yang lalu. Tepat setelah kelulusanku. Ketika kutanyakan hal it ekpada mamak..

“ untuk apa? Kau batanyo untuk apo den manikahkan kau dengan anak pak wali itu? Mayang…kau tahu berapa banyak gadih minang yang ingin menjadi menantunya? Anaknya itu orang pandai, kaya, terpandang… di minang kabau ini gadih yang harus membeli..tapi kau? Dia rela membayar mas kawin berapapun untukmu, lalu apa lagi yang kau risaukan?”

begitulah jawaban mamak atas pertanyaanku. Apa yang kurisaukan? Harusnya itu tak perlu kujawab karena mamak sendiri pasti tahu hal itu. Syamsul yang di jodohkannya denganku itu seorang pemabuk, suka berfoya – foya dengan harta orang tuanya, suka hura – hura, dan mempermainkan perempuan. Haruskan aku menikah dengan orang yang seperti itu? Lalu bagaimana keluargaku kelak? Sedangkan untuk membawanya ke jalan yang benar? Entahlah, aku merasa tak sanggup.

“Mayang….”

Fitri menatap mataku yang mulai berair.

“ Mayang, kita memang harus berbakti kepada kedua orang tua kita, dan dalam hal ini mamak dan etekmulah yang telah membesarkanmu dan menggantikan peran orang tuamu..”

“Ya, Fit.. aku tidak mau menjadi anak yang durhaka..”

“Tapi may.. yang harus kamu ingat, taat kepada keduanya memang di haruskan, tapi selama itu tidak menyimpang kepada yang buruk, sedangkan hidayah tergantung kepadaNYA may..karena Allahlah yang akan menurunkan hidayahnya kepada orang yang dikehendakinya.. dan tentu saja dengan usaha manusia itu sendiri, ataupun dengan bantuan orang di sekelilingnya..”

Aku menatap aliran sungai beberapa saat. Lalu..

“Terima kasih Fit…yuk kita pulang…” ajakku.

“Lho?! Aku kan belum jawab kalau aku memilih sepertimu, apa yang akan kupilih…”

“ Nggak, aku sudah punya jawabannya, doakan aku ya agar kuat dan sabar menghadapi ujian ini, ok? May we go home?.”

“Haah…?! Tau begitu aku nggak susah – susah deh jemputin kamu kesini, mana pulangnya kan tanjakan…huu….” Bibir Fitri mengerucut. Aku nyengir.

“ Kan ada teman sama – sama merasakan capek…he..he…”jawabku setelah bersiap berlari menaiki tanjakan, sebelum tangan Fitri sempat mencubitku. Bismillah…akan kutapaki langkah baru, walaupun harus mendaki tanjakan batu seperti ini, karena tanjakan ini pasti berlalu, dan akan kujumpai tanah yang datar.

 

——Selesai—-

 

 

kito ndak bisa baranang : kita tidak bisa berenang

tumben pai ka siko? : tumben pergi kesini?

Kau batanyo untuk apo den manikahkan kau : kamu bertanya untuk apa aku menikahkanmu

Gadih : gadis

Promo 25oktober – 14 November

Promo Katalog11 : Oriflame Lipgloss Pendant Periode 25 Oktober 2010 – 14 November 2010

Periode 25 Oktober 2010 – 14 November 2010

Looking for a stylish different kind of Lipgloss???

Look no more!!


Tampil cantik dengan Oriflame Pendant yang dirancang khusus

Buka pendant eksklusif ini untuk mendapatkan Lipgloss anda

*******************

Caranya?

Lakukan order akumulasi 75bp pada katalog 11 dan dapatkan

ORIFLAME LIPGLOSS PENDANT EKSKLUSIF hanya Rp 99.000* (harga consultant)

*Oriflame Lipgloss Pendant akan diberikan kepada pencapai kualifikasi saat melakukan order BP pertama minimum Rp.175.000,- pada Katalog 12.

PROMO LAINNYAAA…… MASIH ADA LHO…!!!

MAU DAPETIN HADIAH  YANG SUPER WAH SEPERTI DIATAS SETIAP BULANNYA? GABUNG SEKARANG, ISI FORMULIRNYA LANGSUNG DI www.peluangbisnisdarirumah.tk

RB bagian 19

Dinda membuka matanya perlahan. Selang oksigen dan alat pembantu pernapasan masih terpasang di hidung dan mulutnya. Dipandangnya dinding rumah sakit yang putih dan wajah orang – orang yang berdiri di sekeliling tempat tidurnya. Semua wajah itu memandangnya dengan tatapan cemas. Dinda memandang wajah itu satu persatu. Ayahnya menggenggam tangan gadis itu dengan erat dan bekas air mata yang belum mengering. Wajah Pram tampak pucat seperti kapas. Lalu mata Dinda beralih pada wajah lainnya. Fery, tante Tari yang sedang memeluk Anggi yang kini mengucurkan air mata, serta.. teman – teman se-Gank-nya, Desi, Mia, dan Selly!

“Din, maafin kita semua, ya? Seharusnya kita tetap dampingin elo, bantuin elo untuk melewati semua ini.. seandainya saja kita nggak ninggalin elo.. pasti semuanya nggak akan begini.. ” Mia menggenggam tangan Dinda. Matanya dipenuhi oleh butir – butir bening air mata dan memancarkan rasa penyesalan yang amat sangat.

Dinda hanya mengangguk lemah sebagai jawaban. Hati Mia, Selly, Desy dan Anggi semakin teriris – iris. Ketiganya tak mampu menahan rasa sedih mereka dan menahan isak tangis.

Tiba – tiba suasana yang beku itu dicairkan oleh suara dari arah pintu. Dokter Frans!

“Bapak Pram, nyonya Tari..” panggilan dokter mengagetkan semua yang hadir di ruangan itu. Tanpa banyak bertanya, Pram dan Tari segera mengikuti isyarat dokter yang bernama Frans itu menuju ruangannya.

“Begini pak, ibu Tari.. kami tetap akan berusaha semampu kami, tapi kami juga tidak mau membohong bapak dan ibu tentang keadaan Dinda, ini adalah saat – saat yang sulit..” Dokter Frans membuka perbincangan.

“Memangnya keadaan Dinda bagaimana Dokter?” tanya Pram cepat.

“Tubercolosis sebenarnya penyakit yang bisa diobati dan pemerintah sendiri sebenarnya menyiapkan pengobatan gratis untuk penyakit ini. Kalau pasien bisa mengikuti pengobatan menurut semestinya, Insya Allah akan sembuh. Cuma, kebanyakan pasien biasanya tidak tahan karena pengobatan yang membutuhkan waktu yang panjang, sehingga banyak yang putus berobat.. dan akibatnya kumat tebece jadi kebal terhadap obat – obatan.. Dan itulah yang dialami Dinda yang putus berobat berkali – kali dan sudah terbilang parah dan sudah mengeluarkan batuk darah.. serta tebece tidak lagi hanya menyerang paru – parunya, tapi juga telah menyerah organ – organ lainnya.. dan juga mungkin karena selama ini ia kurang istirahat, kami menemukan ada pendarahan bagian organ dalamnya, untuk itu kami masih harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut.  Dan ini,“ Dokter itu menunjuk hasil roentgen di layer proyektor di sampingnya,” Anda lihat kan? Dalam roentgen Thorax, tulang yang padat akan terlihat putih, sedangkan udara akan terlihat hitam.. tapi ini, lihatlah! Bayangan putih di mana – mana, itu artinya ada infeksi di mana – mana, dan juga undara yang tersimpan di paru – parunya sangat sedikit.”

“Berapa persen kemungkinan akan sembuh dok?” tanya Pram dengan penuh harap dan rasa takut.

“Ada, tapi sangat kecil kalau tidak segera ditangani.. sementara ini kami sudah memberi obat – obat yang mungkin akan membantu, tapi kami sendiri tidak yakin.. obat – obat itu hanya untuk sementara.. apalagi, kemungkinan pasien punya asma dan penyakit lainnya.. tapi, kami bukan tuhan yang bisa menentukan hidup dan mati seseorang, karena itu kita semua harus berdoa.”

Pram dan Tari menarik napas dalam – dalam. Semua terdiam.

“Maaf, Dokter…”

Suara lain di belakang mereka membuat ketiganya menoleh. Kaget. Ryan berdiri di sana.

“Ryan? Kok kamu bisa ke sini?” tanya Pram spontan.

“Maaf, apakah anda ada perlu dengan pak Pram atau Ibu Tari?” potong dokter Frans.

“Nggak, dokter. Saya Ryan, Nngg.. temannya Dinda. Ngg.. Maaf, sebenarnya saya sudah sejak tadi mendengar pembicaraan dokter di sini, hm.. saya Cuma menyampaikan informasi yang saya dapat.”

“Tentang apa?”

“Saya baca di internet, dan ternyata ada rumah sakit pertama yang didirikan oleh WHO dan pemerintah Latvia yang khusus menangani pasien putus berobat dan pasien yang terbilang cukup parah.”

“Oh, ya.. saya juga tahu hal itu, waktu pengobatannya cukup singkat dan memang saya tadinya akan menyarankan itu. Dan untuk pengobatan lainnya pun mungkin akan lebih baik di sana. Bagaimana pak, bu?” dokter Frans berpaling pada Pram dan tante Tari. Pram dan Tari menghela napas pasrah, seperti tak ada pilihan.

“Ngg.. tapi..” Ryan tiba – tiba tampak ragu.

“Tapi apa?” tanya Pram dan Tari serentak. Cemas.

“Saya juga dapat informasi kalau ternyata biayanya seratus kali lipat berobat biasa…”

“Itu benar.” Dokter Frans mengangguk mengiyakan.

“Saya akan bantu, dokter..” ucap tante Tari tiba – tiba, mengejutkan Pram dan Ryan. Tari mengangguk meyakinkan ketiga orang itu. Pram dan Ryan memandang Tari dengan tatapan terima kasih yang tak bisa digambarkan dengan kata- kata. Haru semerbak mewangi di ruangan itu seketika.

…………………

Fery masih termagu sendirian di samping tempat tidur Dinda. Matanya terus memandangi Dinda yang tertidur pulas. Hatinya masih terasa was-was, walaupun sejak beberapa saat yang lalu gadis di depannya itu tak lagi membutuhkan alat bantu pernapasan. Hatinya terasa pedih, begitu mengingat apa yang terjadi selama ini.

“Fer, Zahra..”

Fery dan Zahra yang sedari tadi membisu terlonjak kaget. Terlebih lagi melihat Dinda yang ternyata kini telah terbangun.

“Kok pada bengong? Mana.. yang lainnya?”

“Eh, em.. itu.. “ Fery gelagapan, “Temen – temen kamu udah pulang, waktu kamu tidur tadi, trus ayah kamu sama mamaku masih di ruang dokter..”

“Ra, Ryan udah datang ya?” tanya Dinda dengan suara lemah. Wajah terlihat semakin pucat, seputih kapas.

“Udah kak, maaf, Zahra terpaksa kasih tahu kak Ryan, tadi pas dia datang kakak lagi tidur, sekarang dia lagi ke ruang dokter.” Jawab Zahra  agak cangung.

“Kamu nggak ngasih tau kan, Fer tentang  apa yang terjadi?”

“Belum sempat, Din..”

“Ada apa sih kak?” Tanya Zahra penasaran.

Dinda tak menjawab, matanya terlihat berkaca – kaca. Zahra tak berani bertanya lebih jauh lagi.

“Tolong jangan kasih tau apa-apa ya? Janji ya, Fer?” pinta Dinda.

Fery mengangguk. Hatinya terasa teriris – iris dan sedih, “udah, Din.. kamu nggak usah mikirin apa – apa dulu, yang penting kamu bisa sembuh, ok? Oh, ya.. tadi Selvy telpon, dia titip salam buat kamu..” bujuk Fery.

“Iya.. makasih ya, kalian udah nungguin aku..”

“Seharusnya aku yang makasih, Din.. kamu nggak benci sama aku, padahal aku udah nyakitin hati kamu..” Fery tertunduk. Hatinya diliputi rasa bersalah. Dinda tersenyum.

“Udahlah, jangan diungkit lagi, semua ini bukan salah siapa – siapa. Lagipula aku senang sekarang, semua udah kembali kayak semula, teman – teman.. ayah.. kamu.. juga Ryan.. aku udah tenang sekarang, Fer.. kalaupun aku harus pergi..”

Fery dan Zahra tak tahan mendengar ucapan Dinda. Fery memalingkan mukanya. Air mata mulai mengalir dari sudut matanya. Zahra reflek menyilangkan jarinya di  bibir Dinda, menyuruh gadis itu menghentikan ucapannya, “Kak, please.. jangan bilang begitu, kakak  pasti sembuh! kakak akan sembuh.”

“Benar, Din.. “

Terdengar suara dari arah Pintu ruangan yang terkuak.

“Ryan? Ayah? Tante Tari?” ucap Dinda.

“Ya, nak, besok kita akan berangkat ke Latvia..” jelas Pram. Dinda menatap ayahnya dengan bingung.

“Buat apa, yah?”

“Ya, buat berobat laah, masak mo piknik!” celetuk Ryan.

Dinda tersenyum, lalu “Trus, biayanya..?”

Pram dan Ryan tidak segera menjawab. Keduanya hanya memandang Tari dan mengedipkan mata sebagai isyarat. Dinda segera mengerti.

“Makasih ya, tante. Maaf, Dinda merepotkan..” tante Tari mengangguk, Dinda lalu berpaling pada Pram, “Ayah, Dinda mau bicara berempat  dengan ayah, Zahra  dan Ryan.” pinta Dinda

Pram bingung. Semua yang hadir di ruangan itu segera menyingkir, lalu melangkah ke luar ruangan dengan wajah mengerti, walaupun wajah mereka diliputi rasa ingin tahu.

“Ayah, ayah nggak akan menuntut Anggi kan?”

“Nggak, sayang. Ayah udah maafkan semuanya.”

“Ayah, kalau boleh, Dinda punya satu permintaan sebelum Dinda dibawa kesana” ucap Dinda. Pram memandang Dinda bingung.

“Permintaan apa, Din?” tanya Pram.

“Dinda.. Dinda ingin ayah mau bertemu dengan seseorang..” ucap gadis itu sembari berpaling pada Ryan. Ryan balas mengangguk.

“Siapa?”

Dinda berpikir sejenak, lalu dikuatkannya hati mengatakan hal itu, “Tante.. tante Sintya.” Jawabnya pendek. Wajah Pram langsung diliputi rasa terkejut.

Di sisi lain, Ryan dan Zahra memandang Dinda dengan tak kalah terkejut. Dinda balas menatap mereka dengan wajah memohon agar kedua kakak beradik itu mengerti.

“Yan, sudah saatnya semua rahasia ini dibongkar.” Gumam Dinda pelan. Ia memberi isyarat agar Ryan mendekat.

“Din, aku…” ia berusaha membantah, tapi akhirnya ia menyadari kebenaran kata-kata gadis itu. tak ada lagi yang harus dirahasiakan, jangan adalagi teka – teki!

Dinda berpaling pada Pram, “Yah, maaf Dinda menyelidiki ini sendiri dan tak memberitahu ayah tentang semua yang sudah Dinda ketahui selama ini.. ini Ryan, anaknya tante Sintya. Dan ini.. “ Dinda berpaling pada Zahra yang sedari tadi menunduk cemas.”Ini anak.. anak ayah..” Dinda mengucapkan kata-kata terakhir  itu dengan penuh ragu – ragu.

Zahra tak berani menengadahkan mukanya. Wajah itu berubah seputih kapas. Pram apalagi. Ia terperanjat kaget, “Apa?! kamu   bilang apa, Din?”

“Ya, ayah. Dinda.. Dinda menemukan photo tante Sintya dan ternyata.. dia adalah ibu dari Ryan dan Zahra, yang selama ini menemani Dinda, menjaga ayah..”

“Benarkah itu, Din? Ryan? Zahra”

Ketiganya langsung mengangguk menjawab pertanyaan itu. lalu ia  memandang Dinda, Zahra dan Ryan secara bergantian. Tanpa diduga ia menghambur memeluk anak itu, memeluk Zahra, lalu memeluk Ryan.

“Ya Allah, terima kasih telah mempertemukan kami kembali…” air mata menetes dari sudut mata Pram. Dinda memandang pemandangan dengan perasaan haru.

“Kapan ayah mau menemui tante Sintya?” sela Dinda.

Pram melepaskan pelukannya, matanya memandang ketiga anak yang kini berdiri di depannya secara bergantian,”Ayah… ayah..” Pram tak dapat melanjutkan kata – katanya.

“Kenapa Yah?”

“Beri ayah waktu..” gumam laki – laki setengah baya itu lirih. Matanya menerawang sedih. Ryan segera memapahnya duduk di kursi di samping tempat tidur Dinda.

Semua menghela napas panjang.

……………………..

Sintya sedang duduk di kursi ruang tengah. Sebuah majalah tergeletak di depannya. Ia membolak – balik kertas itu dengan malas, seperti bosan dan capek. Tiba – tiba…

“Tok! Tok! Tok! Assalamu’alaikum…”

Suara ketukan pintu dan sebuah suara yang amat dikenalnya membuat ibu satu anak itu menoleh, “Wa’alaikumussalam” jawabnya, lalu beranjak menuju ruang tamu.

Namun sesaat kemudian langkahnya terhenti. Ia terpaku menatap orang – orang yang datang bersama Ryan. Mereka tak lain adalah Dinda dan.. Pram!

Ryan segera menyalami wanita itu, diikuti oleh Dinda, sedangkan Pram masih terpaku di depan pintu dengan mata tak berkedip dan rasa tak percaya dengan apa yang disaksikannya.

“Ibu.. maafkan Ryan. Ini..,”Ryan berpaling pada Pram,”Ibu.. ibu belum lupa bukan?”

Wanita itu tak bergeming dan seperti tak mendengar apa yang dikatakan Ryan. Matanya menatap lurus ke depan. Menatap Pram.

“Mas..” ucapnya dengan bibir gemetar.

“Sintya? Saya.. saya mencarimu kemana – mana…”

“Maafkan saya, mas…”

Dinda dan Ryan tak ingin menggangu suasana itu. Keduanya lalu segera menyingkir ke ruang tengah, membiarkan kedua orang yang baru bertemu itu.

Pram mendekati Sintya, “Saya.. Tyas..”

“Maafkan saya, mas. Saya pergi karena saya tak ingin merusak keluarga mas.. tapi, saya tak tahu kalau Tyas.. ah, saya tak tahu Tyas sudah meninggal.. sampai saya mendengar kata – kata yang diucapkan Dinda waktu acara sekolah itu.. saya benar – benar kaget..” Sintya mengucapkan kata – kata itu dengan mata berkaca-kaca. Perasaannya hancur berkeping – keping.

“Kamu tidak salah, saya yang salah.. saya yang melibatkan kamu dengan semua masalah ini.. saya yang tak berhasil menemukanmu..”

“Mas, jangan bilang begitu.. tak ada lagi yang harus disalahkan sekarang..”

Keduanya lalu beradu pandang, ada secercah kesedihan, kehilang dan kebahagiaan yang terpancar di sana.

“Mereka… “ Pram menunjuk Ryan dan Dinda yang memandang mereka dari kejauhan.

Sintya mengangguk, “Ya, mereka adalah anak – anak kita, anak – anak yang manis..” Gumamnya.

“Ya, rahasia Tuhan memang tak bisa kita duga.. “Ucapan syukur mengalir dari mulut Pram. Keduanya mengucapkan syukur tiada henti.

………………………..

Bandara Sukarno Hatta, dua hari kemudian…

Dinda membetulkan kain selendang yang menutupi kepala dan rambut panjangnya dengan rapat. Wajahnya yang pucat tertutupi oleh serinya. Empat orang gadis sebayanya  bergantian memeluknya. Mereka adalah keempat sobat Dinda. Anggi menyerahkan handphon mungilnya kepada Dinda. Gadis itu menerimanya dengan senang.

“Makasih ya, semuanya..” jawab Dinda lirih.

Dinda langsung memeluk erat Anggi, Mia, Selly dan Desi, para  sahabatnya sekali lagi, dengan perasaan bahagia bercampur sedih. Bahagia, karena semuanya sudah kembali seperti semula, sedih karena akan berpisah dan belum tentu akan bertemu kembali. Anggi, Mia, Selly dan Desy membalas pelukan Dinda. Kelima gadis itu tak kuasa untuk tidak meneteskan air mata.

“Ayo, anak–anak, kita harus pergi sekarang.” Pram menyadarkan mereka akan waktu yang semakin sempit.

Anggi Cs segera melepaskan pelukan mereka. Dinda segera berpaling ke arah lain. Dinda segera menghampiri Fery dan Selvy yang hanya beberapa langkah darinya.

“Fer, makasih atas semuanya, Selv.. maaf ya, kalo gw sempat berburuk sangka sama elo, kapan lu balik lagi ke australi?”

“Sama – sama, Din.. mungkin minggu ini, alhamdulillah, tempat gw dapat beasiswa dulu nawarin beasiswa untuk nerusin kuliah gw juga, doakan aja lancar,  biar ntar kalo lu nyusul tahun depan, udah ada yang bantu lo di sana.. ” ujar Selvy dan langsung memeluk Dinda. Dinda membalas pelukan itu dengan hangat.

Fery menyalami Dinda dengan canggung. Dinda menyambut uluran tangannya dengan menelungkupkan kedua tangannya di dada, seperti salaman ala sunda. Zahra memandang Dinda dengan tersenyum (karena yang ngajarin Dinda Zahra lho, termasuk kerudung yang sekarang menempel di kepala Dinda!)

“Ok, Hati – hati ya, Din. Oh, ya.. Yan, jaga Dinda baik – baik ya!” ucap Fery setengah berteriak ke arah Ryan. Ryan balas mengacungkan jempol, lalu bergegas memeluk Fery, “Sorry ya, gw sempat ngatain lu yang enggak – enggak..”ujar Ryan.

“Ah, justru gw yang harus minta maaf, jaga Dinda baik – baik ya, gw tahu cuma lu mengerti dia Yan, kayaknya gw harus belajar banyak nih dari elo sebelum gw jadi ipar lu…” Fery menepuk – nepuk punggung Ryan.

Semua yang hadir terbelalak, termasuk Dinda dan Zahra. Mereka semua serentak berseru, “Ipar?! Ngincer kakak atau adeknya?”.

Muka Dinda dan Zahra seketika itu juga berubah merah. Keduanya tertawa. Semua ikut tertawa.

Dinda, Pram, Anggi Cs, tante Tari dan Sintya memandang pemandangan itu dengan geleng – geleng kepala.

Dinda lalu berpaling pada Sintya, “I.. ibu.. jaga kesehatan baik – baik ya, doakan Dinda..” ujar Dinda dengan gugup, lalu berpaling pada Zahra, “Ra, jaga ibu baik – baik ya..”.

Zahra mengangguk, lalu memeluk Dinda. Sintya tak kuasa menahan air matanya. Ia memeluk gadis yang baru beberapa dua hari memanggilnya dengan sebutan ibu itu dengan perasaan sayang.

“Ibu pasti doakan, nak.. “ ucapnya, membiarkan gadis itu tetap memeluknya untuk beberapa saat.

Selang beberapa detik kemudian, terdengar pengumuman untuk nomor pesawat yang akan mereka tumpangi. Dinda mencium tangan wanita itu dengan takzim. Ryan mengikuti.

“Mas, saya titip Ryan..” ucapnya sembari memandang Pram. Pram mengangguk, lalu mengulurkan tangan, sebagai salam perpisahan.

Pram dan Ryan lalu membimbing Dinda meninggalkan ruang tunggu, diikuti tante Tari. Semua menatap pemandangan itu dengan perasaan sedih, cemas, dan penuh harap. akankah waktu masih berkenan mempertemukan mereka kembali ataukah justru menjadikan pertemuan ini pertemuan terakhir? Entahlah! Tak ada yang berani memastikan dan memberi jawaban, hanya waktu yang bisa memberikan jawaban atas  semua rahasia di dunia ini…

……TAMAT….

RB bagian 18

“Anggi?!” Jerit Dinda tertahan. Anggi langsung berhenti memberontak, lalu menepiskan tangan Fery dan langsung berlari ke dekat tante Tari.

“Ma, Fery ma.. Fery jahat sama anggi, nuduh Anggi yang nggak – nggak, ma..!” sahut Anggi, ia menarik – narik tangan tante Tari seperti anak kecil yang sedang mengadu pada ibunya.

Dinda terperangah, keningnya langsung berkerut., “Mama?” ucap Dinda spontan.

Tante Tari berpaling pada Fery, “Ada apa sebenarnya, Fer?” tanyanya bingung.

“Semua akan jelas, ma..” ucap Fery. Suaranya bergetar.

“Jadi.. Fery dan Anggi..” suara Dinda seperti tersekat. Pram menatap kejadian di depannya dengan tatapan bingung. Untungnya Fery segera cepat tanggap dengan raut muka Dinda dan Pram.

“Ya, Din, Anggi adalah adikku satu – satunya..” jelas Fery menjawab dan memberi kepastian atas pertanyaan di kepala Dinda dan om Pram.

Dinda memandang Anggi, “Nggi, kenapa kamu nggak pernah bilang tentang hal ini?”

Anggi melengos.

“Maaf, Nggi.. gw nggak dapat lagi ngebantu elo, gw nggak bisa ngebohongin diri gw terus, gw nggak bisa melihat Dinda lebih mederita lagi..” Feri memandang Anggi.

APA?!

Dinda terbelalak kaget. Kepalanya semakin terasa berat. Anggi langsung terlihat beringas, “Bohong! Lu bohong Fer! Gw nggak salah! Anggi nggak salah, ma.. Din, gw nggak bohong Din.. semua Fery yang ngelakuin, bukan gw..!!” Anggi menarik lengan baju mamanya

“Nggi, nggak ada gunanya menyangkal lagi Nggi, gw ngeliat mobil lu lewat di depan gw di malam gw mau nambrak om Pram, lu juga yang ngirim surat dan nyebarin berita itu di sekolah, lu juga yang melarang temen – temen lu buat ngejenguk dan deketin Dinda, termasuk Selvy, lu juga kan yang sengaja ngajak gw ke kafe itu kan? bahkan lu ngejebak dia dengan ngasih nomor telpon Dinda ke Ryan, tapi lu gagal karena ternyata Ryan akhirnya memang benar – benar bersahabat dengan Dinda, nggak seperti keinginan lu kan?” Fery terlihat berusaha menahan perasaannya yang hancur lebur. Dinda terbelalak.

“Dari mana lu tahu?!! Hah!!” Bentak Anggi. Mukanya memerah menahan marah dan kesal. Fery segera menuju meja belajar kamar itu dan mengeluarkan sebuah buku berwarna pink, seperti sebuah diary.

“BRENGSEKK! Lu brengsek Fer..!!” Anggi berusaha menerjang dan memukul Fery. Pram dan tante Tari segera memeganginya. Anggi memberontak.

“Maafin gw Nggi, gw ngelakuin ini semua justru karena gw sayang sama elo, gw nggak mau lu ngelakuin yang lebih jauh lagi..” Fery menahan perasaannya.

“Bohong!! Lu brengsek, Fer!”

Dinda terpana. Ia seperti tidak yakin dengan apa yang di dengarnya, “Anggi? Jadi.. elo..”

“Iya, gw! kenapa kaget? Iya, gw yang ngambil hasil lab lu yang lu taro di tempat tidur waktu kita mo berangkat ke pesta, gw juga yang ngatur pertemuan lu sama Fery yang brengsek ini, gw yang nyebarin di sekolah, gw yang kirim surat, gw yang nabrak ayah lu, gw yang bikin Selvy dan temen – teman menjauh dari lu, semuanya gw!! Termasuk gw yang suruh Selvy ngejauhin elo! Ngerti?!!” bentak Anggi, bibirnya menyeringai. Seperti seringai seekor srigala yang bersiap menerkam mangsanya. Dinda tergidik.

“Kenapa lu lakuin semua ini ke gw Nggi? Apa salah gw?” tanya Dinda berusaha setenang mungkin, agar kepalanya tidak semakin sakit.

“Kenapa lu harus kaget? Awalnya gw nggak mau ngelakuin itu, tapi ini karena lu Fer! Lu lamban!” Fery menuding Fery. Tangannya teracung di depan wajah Fery, ”Awalnya lu nggak salah Din.. yang salah itu bokap lu ini!!” Anggi menunjuk Pram yang berdiri di samping Dinda. Lalu, ”Gara-gara bokap lu ini gw harus kehilangan  papa! Gw harus menderita, beda sama lu yang hidup dengan tenang..” mata Anggi memerah menahan marah.

“Anggi, om benar – benar tidak sengaja.. itu benar –  benar kecelakaan..!” Pram buka suara.

“Benar Nggi..”tante Tari berusaha meyakinkan putrinya.

“Gw nggak peduli!” Anggi histeris.

“Jadi.. lu temenan sama gw untuk balas dendam?”

“Tadinya nggak juga, tapi begitu ngeliat lu yang begitu cantik, baik, dan perfect, gw jadi benci!” Anggi histeris.

“Kenapa Nggi? Padahal gw nganggap lu temen baik gw.. sahabat gw..” tanya Dinda bingung, bercampur sedih.

“Teman baik? O.. justru itu, lu tahu kenapa gw justru benci sama lu justru setelah gw jadi temen baik lu?”

Dinda menggeleng.

Anggi menatap Dinda semakin tajam, “Justru itu, karena lu terlalu baik, semua teman – teman yang awalnya nurut sama gw, justru jadi nurut sama lu! Apa – apa lu, ini – itu elu, dan gw? gw selalu kalah sama lu Din.. bener! Kayak buntut!”

“Tapi gw nggak pernah bermaksud begitu, Nggi..”

“Alaaah.. nggak usah sok baik!”

“Gw nggak sok baik, gw Cuma pengen lu tahu kalo gw nggak pernah bermaksud membuat lu jadi nomor dua.. “

“Basi!”

“Nggi, kalau lu beranggapan, gw bahagia setelah kecelakaan itu, lu salah besar. Gw juga kehilangan bunda..”

“Benar Nggi, kamu nggak tahu apa – apa, kamu nggak pantas menyalahkan Dinda. Dindapun sudah kehilangan ibunya karena kecelakaan itu, sama kayak kita.. dan satu hal yang nggak kamu tahu, selama itu ayah Dindalah yang membantu mama, sampai kita bisa hidup kayak gini..” tante Tari membujuk Anggi.

“Itu belum cukup, ma.. karena papa nggak akan bisa diganti dengan harta ini!!”

Dinda terdiam. Sekali lagi sekeping hatinya terasa hancur lebur dan berderai. Kepala Dinda menjadi terasa semakin berat dan pusing. Semua peristiwa beberapa waktu lalu langsung terasa berputar – putar di kepalanya. Berbagai kejadian langsung hadir bergantian dan berebut di ruang benak kepala Dinda. Jantung dinda berpacu dengan cepat dan berdebar dengan keras. Wajah – wajah di depannya semakin menjauh dan mengabur. Tubuh gadis itu terkulai. Semua terasa gelap.  Brukk!

Sementara itu di tempat lain..

Ryan tengah sibuk mengklik situs – situs di internet. sesekali tangannya mengganti kata kunci yang dicarinya, lalu mencatat informasi – informasi yang telah didapatnya. Demikianlah yang dilakukannya berulang – ulang, hingga didapatkannya sederet informasi yang dibutuhkannya yaitu, sebuah halaman yang memuat informasi tentang sebuah rumah sakit khusus  yang didirikan oleh WHO dan Latvia untuk perawatan khusus penderita TBC, yang merupakan rumah sakit khusus yang menangani kuman tebece yang kebal terhadap obat – obatan atau pengobatan yang sering terputus dalam waktu yang lebih pendek!.Dinda nggak akan semenderita berobat di sini, yang pengobatannya harus melalui suntikan setiap hari atau obat yang berkepanjangan selama enam bulan atau sembilan bulan, atau bahkan lebih!

Ryan tersenyum. Segera dimatikannya komputer rental tersebut. setelah membayar di kasir, segera ia berlari mencari wartel terdekat. Hanya satu yang ia ingin lakukan saat ini yaitu, memberitakan kabar gembira ini kepada Dinda! Dinda pasti senang, karena ia akan sembuh!

Ryan langsung menekan beberapa digit nomor telpon interlokal. RrRrRr..!!!RrRrRr..!! RrRrRr…

Sepi. Tak ada jawaban.

Ryan menekan nomor itu sekali lagi, namun lagi – lagi tak ada yang mengangkat. Kemana  gadis itu? Bukankah seharusnya ia ada di rumah, atau ayah  ada di rumah?

Ryan akhirnya menyerah. Ia memutar kepalanya. Zahra, ya.. ia akan menelpon Zahra saja. Tepat setelah dering ke dua barulah telpon di seberang diangkat. Ryan bicara dengan tidak sabar.

“Halo, Assalamu’alaikum, Zahra, ini kakak,. APA Ra?! Dinda dirawat di rumah sakit?! Keadaannya bagaimana?.. APA??! Di mana Ra? Ibu lagi kesana?”

Ryan meletakkan gagang telpon dengan tergesa – gesa dan tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Ia tersandar lemas di depan box telepon. Pikirannya kalut, air mata mengalir deras dan membanjiri sudut matanya. TIDAAAK! Dinda…!!

……bersambung ke RB bagian 19…………..

RB bagian 17

Dari balkon lantai dua sebuah rumah megah sesosok bayangan sedang mengamati dua orang  yang tengah bercakap – cakap di lantai bawah yang tak jauh di depannya. Sesekali mata di balik kaca mata ia melirik Seiko mungil yang melingkar di tangannya. Huh, Lama sekali gadis itu! keluhnya sambil menatap ke bawah, ke gerbang masuk tentunya.

Tak lama kemudian, senyumnya mengembang. Hatinya bersorak, sesuai rencana, akhirnya gadis itu datang! Dinda datang! Ah, lihat saja, sebentar lagi akan ada kekacauan sodara – sodara! Perang saudara antara ayah dan anak! Hati gadis itu bersorak riang.

Sesuai rencana, Dinda berjalan tergesa – gesa memasuki pekarangan rumah yang tak diketahuinya siapa si empunya rumah itu. Si gadis langsung mengambil tempat strategis untuk mendengar pembicaraan, namun tak terlihat dari lantai satu.

Sesampainya di pintu masuk, Dinda segera mengetuk pintu dengan ragu – ragu. Seorang perempuan setengah baya segera membukakan pintu dan mempersilahkan gadis itu masuk. Namun, baru beberapa langkah Dinda melangkah, ia langsung terperanjat dengan pemandangan di depannya. Matanya terpaku pada dua sosok yanga tengah asyik berbicara di ruang tengah. Ayah? Siapa wanita itu? pemilik rumah inikah? oh! Tante Tari!

“Dinda?” Ayah Dinda dan tante Tari serempak berseru kaget. Kedua sosok itupun seperti sangat terkejut ketika menyadari kehadiran Dinda di sana. Dinda seperti ingin lari saat itu, tapi rasa keingintahuannya lagi – lagi membuat kakinya seperti terpaku dan tak mampu beranjak dari tempatnya berpijak. Kenapa ayah tak pernah cerita kalau ternyata ia mengenal tante Tari? kenapa ayah mesti merahasiakan pertemuan ini? Hati Dinda berbisik, semua harus jelas! Semua teka – teki ini harus diselesaikan!

Pram dan tante Tari bergegas menghampiri Dinda.

“Ayah? Tante? Kenapa..” Dinda gelagapan. Kepalanya pusing, semua pertanyaannya yang tadi menempel di kepalanya tadi seperti hilang seketika.

“Dinda.. denger dulu penjelasan ayah..” Pram berusaha menenangkan Dinda, di rengkuhnya gadis itu untuk segera duduk.

Tapi tampaknya kepala gadis itu tak dapat lagi menguasai hatinya. Dinda menepiskan tangan ayahnya,” Apa arti semua ini, yah? Lalu cerita ayah beberapa hari yang lalu itu… ”

“Dinda, sungguh…”

“Nggak usah ayah, cukup Dinda di sini aja.. ayo, ceritakan semua kebenaran yang selama ini ayah sembunyikan dari Dinda..” Dinda menatap Tari dengan tatapan sinis.

“Nggak ada, sayang..”

“Jangan panggil Dinda kayak gitu, sampai semuanya ayah ceritakan.. Dinda sudah siap dengerin semuanya, Dinda sudah siap sejak Dinda melihat tante datang ke rumah sakit, membayarkan semua sisa biaya rumah sakit ayah, ayo tante, ayah..” Dinda mengusap air mata yang mengalir di pipinya.

“Dinda.. kami tak ada hubungan apa-apa. Sungguh!” jelas tante Tari.

“Seperti.. teman maksud tante?”

Tante Tari dan Pram mengangguk.

“Teman? kok kayak anak kecil aja? Atau emang ayah dan tante yang menganggap Dinda sebagai anak kecil, yang nggak mengerti apa – apa? Dinda kan punya mata dan hati. Ha?” Dinda tertawa sini.

“Ya, Din.. percayalah sama ayah, ayah nggak pernah bohong sama kamu. Ayah kesini cuma mau ngucapin terima kasih.” Pram  meyakinkan Dinda.

“Apa wajar teman membayarkan biaya sebanyak itu? dengan cara rahasia – rahasiaan segala? apa wajar pake kirim – kiriman bunga segala? Apa wajar ketemu diam – diam dan tanpa sepengetahuan Dinda?”

“Tante emang membayar sisa biayanya, itu sebagai.. ah, tante punya alasan.. tapi.. bunga? Bunga apa?” tante Tari terlihat bingung.

“Alah, tante nggak usah pura – pura nggak tahu!” Dinda kesal, ”Gimana mungkin tante nggak tahu bunga yang tante letakkan di kamar ayah waktu ke rumah sakit itu! Dinda nggak bodoh tante, Dinda udah dewasa.. udah ngerti!” mata gadis itu semakin merah menahan perasaannya yang bercampur aduk. Pram dan Tari saling berpandangan.

“Sekarang.. Dinda udah nggak percaya sama siapapun..”

“Dinda, ayah…” Pram mencoba memotong.

“Stop yah, Dinda belum selesai.. Dinda capek dibohongin.. sama tante yang baik dan Dinda kira nggak punya maksud apa – apa, sama ayah yang semua Dinda korbankan untuknya, tapi bohong sama Dinda, ayah jahat! “

“Maafin ayah Dinda.. ayah nggak bermaksud bohong sama kamu.. “ Pram menatap Dinda dengan sungguh-sungguh. Dinda tak bergeming, sampai…

“Ayah kamu benar Din, dia nggak bohong.. diantara kami emang nggak ada apa – apa, pasti itu Cuma kerjaan orang iseng.. kamu harus percaya itu.” tante Tari ikut meyakinkan Dinda.

“Dinda nggak percaya… Dinda nggak percaya..” dinda menggeleng. Air mata dengan deras membanjiri pipinya dari tadi.

“Cukup Din, semua yang dikatakan ayah kamu dan mamaku bener, tak ada yang membohongimu..”

Sebuah suara bariton yang rasanya amat dikenalnya  membuat kepala Dinda menoleh, oh.. tidak hanya Dinda, tapi juga tante Tari dan Pram, ayah Dinda. Jantung Dinda langsung berdegup kencang. Keningnya mengernyit, mulutnya yangsung berucap spontan,  “Fery? Ngapain kamu di sini?”

“Boleh kan aku di sini sesukaku, di rumahku sendiri.”

“Ya, Din.. maaf, aku udah dengerin kalian dari tadi dan aku rasa aku harus ikut campur. Karena aku nggak tahan lagi harus terus membohongi kamu dan diriku sendiri..”

“Tau apa kamu?”

“Tahu semuanya, tapi please, tolong maafin aku dulu”

“Untuk apa?” Dinda bingung.

“Karena aku sempat benci sama kamu.. bukan, bukan karena tebece itu, bukan karena.,ah, tapi…”

“Tapi apa ?” tanya Dinda sengit.

“Tapi karena kecelakaan empat belas tahun yang lalu.. karena aku nggak bisa maafin ayah kamu yang bikin papaku meninggal karena ditabrak mobil ayah kamu… aku…” Fery tak dapat melanjutkan kata – katanya.

Dinda merasakan kepalanya semakin berat untuk menangkap kalimat – kalimat yang diucapkan Fery. Ia memandang ayahnya sebentar. Lelaki itu hanya mengangguk, membenarkan apa yang dikatakan oleh Fery. Gadis itu memandang Fery dengan tatapan tajam.

“Jadi…jadi.. semua ini adalah acara balas dendam kamu sama mamamu sama aku dan ayah? Iya?!” Dinda setengah berteriak, “ Sukses acara kamu bikin aku kehilangan beasiswa? Sukses bikin aku kehilangan teman karena berita yang kamu sebarkan di sekolah? bahagia lihat ayahku terkapar berlumuran darah karena di tabrak? Masih kurang dengan keadaan kami yang sekarang tinggal di kontrakan kecil? Masih kurang? Apalagi yang kamu inginkan setelah ini? Hah?!” Dinda menatap Fery dan tante Tari tak berkedip. Semua uneg – unegnya selama ini seakan tumpah seketika.

“Tidak Din, kamu salah paham.. “Fery berusaha meyakinkan Dinda, juga Pram,

“Aku nggak percaya Fer, aku nggak percaya kamu tega melakukan perbuatan serendah itu sama aku dan ayahku!”

“Dengerin aku dulu, Din..”

“Apa? Apa yang harus aku dengerin?” Dinda semakin tak kuasa mngendalikan emosinya. Pram memegang pundak Dinda.

“Tadinya aku memang berencana menabrak oom di malam itu, aku ngikutin ayah kamu memang waktu, sampai ban mobilnya kempes di tengah jalan.. dan aku memang ikut berhenti beberapa meter setelah om Pram berhenti, tapi entah kenapa di saat – saat terakhir aku jadi bimbang, aku ngerasa aku sangat pengecut, dan akhirnya aku pulang tanpa mempedulikan apa – apa.. aku sama sekali nggak ngelakuin itu Din.. aku berani ber..”

“Apa?! Berani apa? Nggak ada lagi yang aku percaya sama kamu.. aku nggak nyangka Fer, kamu pengen kenal sama aku Cuma karena manfaatin aku aja untuk dendam kamu Fer..” Dinda memandang Fery, lalu beralih ke tante Tari,“ Tante juga.. semua nggak ada yang Dinda percaya..”

“Nggak Din, kamu nggak boleh ngomong begitu.. waktu di pesta itu aku belum tahu kalau kamu adalah anak om Pram, juga waktu makan malam itu, sungguh Din! Dan mama juga ngebantu biaya rumah sakit ayah kamu juga sebagai balas budi..”

“Aku nggak percaya..”

“Ya, Din.. mungkin Pram belum sempat cerita, dulu setelah  papanya Fery, suami tante kecelakaan, papa kamu lah yang bantu tante dan perusahaan kami.. jadi, wajar kan kalo tante juga bantu ayah kamu?” jelas tante Tari.

“Jadi semua ini.. selama ini.. oh, Dinda bingung..” Dinda memegang kepalanya yang semakin sakit.

“Sebentar, ada yang harus kamu tahu..” ucap Fery.

Dengan tergesa – gesa Fery berlari meninggalkan Dinda, Pram dan mamanya menuju lantai dua. Entah apa yang akan dilakukannya, entahlah..

Satu menit, dua menit, lima menit berlalu. Fery tak juga muncul dari lantai dua. Dinda menunggu dengan dada berdebar. Tangannya masih memijit – mijit kepalanya yang semakin sakit. Sementara itu Pram dan tante Tari memandang gadis itu dengan tatapan cemas.

“AAAAAH…!”

Tiba – tiba Dinda, Pram dan tante Tari dikejutkan oleh teriakan melengking seorang perempuan yang terdengar dari lantai dua.

Mereka segera berlari menuju asal suara yang ternyata dari salah satu kamar itu. Langkah Dinda tiba – tiba terhenti. Kakinya seperti terpaku, matanya terbelalak kaget ketika menyaksikan peristiwa di depannya. Fery sedang berusaha menarik tangan seorang gadis yang meronta dengan sekuat tenaga. Gadis itu adalah.. Anggi!

………bersambung ke rb bagian 18……..

RB bagian 16

Tiga  bulan kemudian…

Tiga bulan sudah berlalu sejak rahasia Zahra dan Ryan terbongkar. Artinya, sudah tiga bulan juga mereka menyimpan rahasia itu dengan rapat. Ya, mereka akhirnya memutuskan untuk menyimpan dulu sementara hal itu, menunggu sampai keadaan ayah Dinda benar – benar pulih dan mereka siap untuk menguak kebenaran dan membuka luka lama itu.

Uhuk!! Uhuk!!

Dinda berusaha menahan batuknya yang semakin menjadi – jadi dengan sesekali menutup mulutnya dengan tangan kirinya yang menggenggam tisu. Sekotak tisu yang tadi pagi dikantonginya terlihat hampir habis. Sementara tangan kanannya sibuk membilas piring kotor yang tak ada habisnya. Ya, Dinda mengikuti saran ayahnya, walaupun untuk itu ia harus menerima ditempatkan di tempat cucian dan bagian bersih – bersih, agar batuknya tidak mengganggu tamu yang sedang makan.

“Udahlah Din, kalo kamu sakit, kamu istirahat aja di belakang, aku masih bisa kok ngerjain ini semua, lagi pula agak sepi kok tamu hari ini..” Nana, teman se-bidang Dinda terlihat prihatin dengan kondisi Dinda.

“Iya Nda, aku juga bisa kok bantuin Nana.” Agus  yang rada – rada kemayu ikut menimpali.

Dinda tersenyum, “Nggak pa – pa kok Na, Gus, lagian tanggung! “ jawab Dinda. Nana dan Agus tak berkata apa – apa lagi. Rupanya seminggu penuh bergaul dengan Dinda sudah membuat kedua orang itu mengerti dengan karakter Dinda yang sedikit keras kepala alias susah dibilangin!

“Oh ya Din, cowok yang dulu nganterin kamu waktu pertama kali kerja itu, trus yang suka mampir itu sekarang kemana? Keren juga tuh! Tapi kok nggak pernah kelihatan lagi sih?” tanya Nana.

“O.. Ryan, sekarang dia di Bandung, kan udah mulai kuliah.. ntar sebulan sekali juga dia pulang. Kenapa Na? ”tanya Dinda sambil terus membereskan meja yang kotor dan memasukkan piring yang sudah terpakai ke dalam baskom yang dibawanya.

“Kenapa? Mau daftar jadi kakak ipar gw?”

“Kakak ipar?”

“Ryan kan saudara tiri gw, anak tiri bokap gw..”

Nana ternganga kaget, “Oh, my God!”. Ia menepuk keningnya.

Tiba – tiba pikiran jahil Dinda muncul untuk terus melanjutkan godaannya. “Kenapa? Nggak mau punya adik ipar sebaik gw? Gw baik lho? Lu nggak akan nyesel deh jadi adek gw..!” Dinda sok promosi.

“Hueeekkkkk! Nggak deh..!”Nana kontan berteriak, namun gadis itu tetap saja tak mampu menyembunyikan mukanya yang bersemu merah. Dinda ketawa ngakak. Nana lalu buru – buru meniggalkan Dinda, sebelum gadis itu sempat menggodanya lagi.

Namun, baru akan mengambil piring kotor lagi ketika langkahnya mendadak berhenti. Mata gadis itu terbelalak begitu melihat sekelebat dua bayangan yang baru memasuki restoran. Fery? Dan.. Anggi? Mengapa mereka berdua ada di sini? Ada hubungan apa diantara mereka berdua? Mungkinkah mereka…

Dinda urung melanjutkan langkahnya. Dengan tergesa – gesa, ia kembali ke belakang membawa tumpukan piring kotor ala kadarnya yang sudah terkumpul. Tanpa mempedulikan tatapan heran rekan – rekannya, Dinda melepaskan celemeknya.

“Na, Gus, gw istirahat dulu ya sebentar!” ucap Dinda.

Nana dan Agus jadi bengong. Tadi disuruh istirahat nggak mau,malah ketawa – ketawa, eh.. kok sekarang tiba – tiba minta pensiun, eh, istirahat mendadak?

Beberapa detik kemudian barulah kedua bujang dan gadis itu mengerti perihal yang menyebabkan sahabat baru mereka itu buru – buru ke belakang, yaitu ketika melihat tatapan seorang cowok yang mengikuti kepergian Dinda yang menghilang dari balik pintu ruang istirahat. Keduanya langsung geleng – geleng kepala.

Sementara itu…

Fery terlihat kaget melihat sosok seperti Dinda ada di restoran itu. berkali – kali matanya mengerjap, mencoba meyakinkan bahwa yang dilihatnya adalah Dinda. Hatinya bertanya, benarkah itu Dinda? Tapi,  Mengapa gadis itu ada di sini? Bekerjakah?

Cowok itu terus memandangi punggung yang langsung menghilang dari balik daun pintu. Fery jadi bimbang dan ragu dengan penglihatannya. Dipandanginya sekali bayangan Dinda dan Anggi yang duduk di sampingnya dengan cuek dengan ber-SMS ria  secara bergantian dengan hati sedih dan teriris – iris.

Dinda. sebenarnya ada rasa tak tega di hatinya melihat keadaan gadis itu, tapi ia harus bagaimana? Anggi.. Bagaimanapun Anggi sudah menjadi bagian penting dalam  hidupnya dan tak mungkin ia menolak keinginan gadis itu.. tak bisa!

Fery memandang bayangan Dinda dan Anggi sekali lagi. hatinya bimbang. Ah, persetan dengan semuanya!. Akhirnya Fery bergegas kebelakang meninggalkan Anggi yang kini memandangnya dengan kesal. Fery bergegas menghampiri dua sosok yang tadi dilihatnya bicara akrab dengan Dinda. Nana dan Agus.

“Maaf mbak, mas, bisa saya bicara dengan mbak yang tadi bicara sama Mbak?” tanya Fery. Dinda yang tadinya berniat memejamkan mata sebentar, jadi urung begitu mendengar samar – samar percakapan di luar.

“O.. mbak Dinda, sebentar ya mas.” Jawab Agus, yang langsung disambut dengan sikutan oleh Nana. Agus mengaduh, lalu berlari ke belakang, diikuti oleh Nana.

Tanpa menunggu Nana dan Agus bicara padanya, Dinda segera bangkit dari posisi tidurnya dengan wajah kesal dan enggan. Gadis itu segera menanggalkan celemek yang tadi masih menempel di tubuhnya, lalu bergegas menghampiri sosok Fery.

“Din, saya mau bicara.” pinta Fery.

“Saya lagi kerja.” Jawab Dinda ketus.

“Tolong, Din! lima menit aja kasih saya waktu, saya janji setelah itu saya akan pergi..” Fery memohon dengan wajah memelas.

“Ok, kamu Cuma punya waktu lima menit, setelah itu kamu harus pergi dari hadapan saya.” Ucap Dinda dingin. Nana dan Agus yang tadinya berniat nguping, jadi mengkerut. Keduanya lalu menyingkir pelan – pelan. Sama cowok cakep kok galak? Syereeemm!

Fery mengangguk. Dinda melangkah menuju ruang  belakang kafe yang agak sepi. Tak dihiraukannya pegawai kebersihan yang sedang membereskan tempat itu memperhatikannya dengan penuh heran. Fery mengikutinya.

“Din, maafkan sikap saya selama ini, tolong..” ucap Fery.

Dinda terbelalak,” Maaf ? Maaf untuk apa, ya?” tanya Dinda dingin.

“Karena saya udah nyakitin perasaan kamu, karena..”

“Karena apa?”

“Atas semua salah saya selama ini.”

“Kamu nggak salah, kok. Itu memang pantas aku dapatkan.”

“Nggak Din, saya tahu saya salah, karena itu saya minta maaf..”

“Maaf? Kenapa semua orang harus minta maaf sama aku sekarang? Kenapa begitu mudahnya?” tanya Dinda. Mata gadis itu memerah menahan semua perasaannya, “Kenapa baru sekarang? Kemana kamu pada saat aku butuhkan? Kemana kamu? Kalian? Nggak Anggi, nggak kamu.. semua sama! Apa kalian semua udah nyesel ninggalin Dinda yang tebece ini? aku ini masih tebece, jadi belum pantas untuk kalian dekati! lagi pula aku ini Cuma seorang pelayan, beda sama kalian yang orang kaya!”

Fery tertunduk,”Aku tahu, karena itu.. “

“Karena itu apa?! Saya nggak butuh rasa kasihan kamu, saya udah nggak butuh kamu, aku udah tenang dengan keadaanku sekarang, tolong jangan ganggu lagi, aku bahagia dengan hidupku sekarang, jadi tolong biarkan aku tetap bahagia sebentar saja..” Dinda berusaha menahan air matanya yang semakin berdesakan untuk segera keluar. Tidak! Aku harus kuat!

“Din, tolonglah Din, aku sama Anggi..” Fery memohon dengan wajah  memelas.

Dinda memberi isyarat dengan tangan kirinya, “Please Fer, Aku nggak mau denger penjelasan apa – apa Fer, semua yang aku lihat sudah memberikan jawaban, aku nggak perlu penjelasan apa – apa lagi dari kamu, waktu kamu udah habis, tinggalin aku sekarang juga!”

“Aku dan Anggi..”

“STOP!” potong Dinda,”Aku udah bilang, tinggalin aku sekarang atau aku akan teriak. Cepat!”

Fery menurut. Dengan langkah berat ia meninggalkan Dinda yang masih berdiri di tempatnya. Tanpa suara, air mata mengalir deras di pipinya. Hatinya terasa  hancur berkeping – keping.

Sementara itu di belakangnya Dinda tampak mulai terhuyung – huyung.

“Ya Allah, kuatkan Dinda.. Ryan, tolong Dinda, bantu Dinda menjalani semua ini, bantu adikmu ini.. Uhuk! Uhuk!” tanpa sadar Dinda bergumam lirih.

Uhuk! Huk!

Dinda mencoba menahan batuknya yang semakin menjadi – jadi dengan membekap mulutnya lebih erat dengan tisu pada tangan kanannya. Tiba – tiba mata gadis itu terbelalak melihat tisu itu. Darah! Ada darah di tisu itu! seketika Dinda merasakan dadanya terasa begitu sesak dan oksigen yang semakin menipis. Brukk!. Tubuh lemahnya ambruk. Gelap.

Dalam bayangan yang semakin menghilang Dinda mendengar suara-suara panik di sekelilingnya…

……………….

Dinda membuka matanya perlahan. Bau steril obat langsung menusuk hidungnya. Di sampingnya, tampak Agus dan Nana memandangnya dengan wajah pucat dan cemas.

“Na, gw di mana?” Dinda berusaha untuk bangkit. Tangan kirinya memegang kepalanya. Sakit! Nana segera membantu gadis itu bangun.

“Lu tadi pingsan, gw sama Agus langsung aja bawa lu ke klinik ini.” Nana ikut memijit kepala Dinda.

“Iya Din, makanya dari tadi gw bilangin lu biar istirahat, eh lu nya nggak mau, gini deh jadinya.. mana gw kan takut kalo ngeliat orang pingsan. Emang lu kenapa sih Din?” tanya Agus.

Dinda tertegusn tapi bibirnya berusaha tersenyum, “Thank’s ya udah nolong gw, sebenernya gw tebece Na, Gus.. temen – temen gw pada ngejauh dan  ini kali kedua gw putus berobat lagi untuk kedua kalinya, sejak gw terlalu sibuk ngurusin bokap gw, gw kehabisan uang untuk biaya perawatan bokap.. hmm, tapi please jangan bilang bokap gw ya keadaan gw kayak gini, please..!”Dinda memohon. Nana dan Agus memandang Dinda beberapa saat dengan tatapan iba dan bingung. Dengan ragu – ragu, akhirnya keduanya mengangguk.

“Ok, tapi lu harus janji nggak maksain lagi..” jawab Nana.

“Dan harus istirahat di sini sampai sore, ok?” sambung Agus.

Dinda mengangguk dengan penuh terima kasih kepada kedua sobatnya. Nana dan Agus tersenyum.

“Oh ya, kata dokter yang periksa lo tadi waktu pingsan, lu juga nggak boleh banyak pikiran, ntar kalo udah baikan, lu boleh balik ke restoran. Tenang aja ntar gaji lu gw yang ambilin, jadi ntar sore lu tinggal ambil ke gw, ntar gw juga yang bilang sama bos, ok?”

“Iya, makasih ya, lu bedua baik banget sama gw..”

“Yah, namanya juga temen Din, kan lu sendiri yang bilang kalau sahabat sejati itu “ada di waktu senang dan susah” Ya kan, Na?” Agus melemparkan pandangan ke Nana. Nana balas mengangguk. Ketiganya lalu tersenyum.

Dinda balas menatap Nana nakal, “Serius? Bukan karena mau jadi ipar gw?” goda Dinda.

Muka Nana kembali bersemu merah,  “Huss!! Lu ada – ada aja. Ya nggaklah.. lagian mana mungkin sih anak kuliahan yang pinter dan cakep kayak Ryan mau sama gw, Din..”

“Kalau mau? Cinta kan tak kenal kasta.” Dinda tambah mengoda dengan memijam istilah lagu pop yang sempat ngetop tahun sembilan puluhan itu.

Muka Nana tambah memerah. “Udah ah! Ok, Gw sama Agus cau dulu ya, istrahat ya! oh ya, gw lupa, bukannya ada program obat gratis dari pemerintah Din buat penderita tebece?”

“Ada. Cuma itu buat yang baru permulaan, kalau yang udah pernah putus berobat sampai dua kali kayak gw udah susah ngurusnya, harus kesinilah, rujuk kesitulah.. ada sih yang mau ngasih langsung, Cuma gw harus bayar juga obat – obat lainnya, ya vitaminlah katanya, atau apalah, tapi intinya tetap aja mahal! Ya, kecuali kalau baru berobat  permulaan, mungkin bisa langsung dapat obat. Gw waktu itu pernah ke klinik deket rumah, gw kan nggak tahu apa – apa ya? Gw cerita aja kalau gw udah pernah putus berobat dua kali.. eh, bukannya langsung dikasih obat, malah tuh dokter nggak mau ngasih gw obat, gw malah disuruh ngurus surat dan macem – macem dulu ke rumah sakit kota..”

“O, gitu, ya udah ya, gw tinggal, bye..” Nana menggenggam tangan Dinda, lalu melangkah menuju pintu.

“Iya, bye juga Din, istirahat ya?” ujar Agus mengikuti buru-buru, takut ditinggal Nana!.

Dinda tersenyum dengan melihat tingkah kedua sobatnya itu.  Matanya terus memandangi punggung dua sobat barunya yang hilang dari balik daun pintu. Gajian, ya! Untungnya bos restoran tempatnya bekerja sekarang itu mau berbaik hati pada Dinda dan bersedia memberikan gaji tiap minggunya, sehingga Dinda tak begitu kesulitan dalam pengeluaran sehari – harinya.

Nana dan Agus. Mengingatkan Dinda pada sahabat – sahabatnya waktu di SMU dulu, bagaimana ya kabarnya mereka sekarang? Pada kuliah di mana? Ah, mungkin benar kata orang, sahabat itu selalu datang dan pergi. Tapi, di manakah yang namanya sahabat sejati?

……………….

“Lam lei koem! Ayah..! Dinda pulang nih! Hari ini Dinda gajian lho.. Tau nggak Dinda bawa apaan buat ayah? Pasti deh ayah suka, Dijamin!”  Dinda berteriak nyaring setelah membuka pintu dengan kunci serap yang di bawanya. Wajahnya berusaha menyembunyikan apa yang telah menimpanya. Ceria. Kantong plastik bawaannya diletakkannya dengan hati – hati di atas meja makan berukuran kecil itu. lalu dengan hati – hati gadis itu melangkah ke depan pintu kamar ayahnya, dengan niat mengagetkan pria itu ketika sang ayah membuka pintu nanti.

Namun, beberapa detik kemudian.. pintu yang yang diharap – harap akan terbuka tak juga menunjukkan tanda – tanda akan terbuka. Perasaan Dinda langsung was – was. Didorongnya handel pindu perlahan. Kosong! Kamar ayah kosong!

Kemana Ayah? Kenapa tak bilang kalau mau pergi?

Mata Dinda menyapu seisi kamar. Tiba – tiba matanya tertuju pada secarik kertas yang tergeletak di lantai kamar, di samping tempat tidur ayahnya. Sebaris tulisan tangan tertera di sana. Sebuah alamat lengkap tertulis di sana. Dinda mengenali tulisan itu sebagai tulisan ayahnya.

Apa ini? Kening Dinda mengernyit. Otaknya mencoba mengolah dan memahami maksud dari tulisan tersebut. Komplek Ini rasanya tak begitu jauh dari sini, tapi ini rumah siapa? mungkinkah Ayah pergi menemui seseorang yang memiliki nomor telpon ini dan di tempat yang tertulis di kertas ini? lalu kalau ternyata benar,  siapa orang ini? kenapa ayah tak bilang kalau dia akan pergi?

Dinda memasukkan kertas itu ke dalam kantong jaketnya dengan tergesa – gesa. Disambarnya kembali tas yang tadi di sandangnya tanpa mempedulikan belanjaan yang tergeletak di meja. Pikirannya hanya satu, Ini saatnya Din menyelesaikan semuanya! ia harus mencari tahu siapa yang ditemuinya dan menjawab semua teka – teki yang memenuhi kepalanya selama ini, termasuk masalah tante Tari!

………bersambung ke RB bagian 17………

RB bagian 14

Dinda menyandarkan punggungnya di dinding ruangan sempit itu.  Mukanya tampak agak pucat dan lelah. Dilapnya keringat yang bercucuran di wajahnya dengan sehelai handuk kecil yang dikeluarkannya dari tas kecil bawaannya. Pegal. Tamu restoran hari ini banyak sekali, sehingga ia dan karyawan lainnya merasa kewalahan melayani.

“Capek, Din?” tanya Nana, rekan seprofesinya.

“Yah, lumayan.” Jawab Dinda.

“Yah, ginilah Din kerja di sini, nggak kayak di kantoran, kerjanya Cuma duduk doang, nggak capek dan udah gitu gajinya gede lagi!”

“Ah, tapi otaknya kan capek juga mikir!” Dinda tak mau kalah.

“Ya, tapi kan nggak secapek kita, udah pake otot, capek lagi mikir..”

“Lho, emang mikirin apaan Na, kan yang mikirin nasib restorannya si bos, menu makanan dan minumannya juga urusan atas, emang kita capek mirin apa?” tanya Dinda penasaran. Nana mengernyitkan dahi. Mulutnya menganga, seperti sedang mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Tapi..

“Capek mikirin gaji yang kecil! kira – kira cukup nggak ya, buat sampai akhir bulan.” Ujar Agus yang muncul tiba – tiba dari dapur, tanpa diduga oleh Nana.

Nana langsung cemberut. Dinda tersenyum, “Ah, kalian ada-ada aja, udah ah! makan yuk, laper nih!” Dinda menepuk  – nepuk perutnya, lalu mengeluarkan kotak bekalnya. Agus dan Nana melakukan hal yang sama.

“Eh, Na..”

“Ha?”jawab Nana dengan mulut yang penuh nasi. Melihat hal itu Dinda tak jadi meneruskan kalimatnya dan menunggu gadis itu menelan semua nasi yang ada di mulutnya.

“Aha ci? Gadi hanggil, heharang hok dihuehin?” tanyanya, masih dengan nasi di mulut.

“Udah, ntar aja. Abisin dulu, ntar keselek lagi.. hanggil-hanggil..” nasihat Agus. Nana mengangguk, lalu cepat – cepat menelan nasi yang masih tersisa, “Ya, sudah nona!” ujarnya.

“Ngg.. lu pernah kebayang nggak seumpamanya…”

“Apa? Nana Ada yang mau nembak?” potong Agus cepat sebelum Dinda menyelesaikan pertanyaannya. Nana cemberut lagi, begitu pertanyaan yang seharusnya untuknya itu diserobot untuk kedua kalinya.

Agus mencibir, lalu bergegas bangkit meninggalkan mereka sebelum sendal Nana melayang ke kepalanya. Nana balas menatapnya dengan kesal, lalu kembali berpaling ke arah Dinda yang masih menunggu untuk melanjutkan kembali kalimatnya yang tadi terpotong.

“Kalau seumpamanya apa, Din?”

“Ya.. kayak yang dibilang Agus tadi..” canda Dinda.

“Ah, yang bener Din?” tanyanya antusias.

Dinda geleng – geleng kepala, “Ya, nggak laaahhh..!”

Nana urung senyum, “Trus apa dong?”

“Nggg..” Dinda ragu – ragu melanjutkan kalimatnya,“Ngg.. Kalau ternyata selama ini, selama bertahun – tahun lamanya ternyata baru sekarang lu tahu kalau ternyata lu sebenarnya punya saudara tiri dan ibu tiri?”

“Emang elo.. punya saudara tiri ya, Din?” tanya Nana hati-hati.

Dinda mengangguk, “Ya, ayah baru  cerita ke aku, rahasia itu ia pendam sejak belasan tahun yang lalu..”

“Berarti bokap lu punya istri dua?”

“Ya.”

“Setelah nyokap lu meninggal?”

Dinda menggeleng, “Nggak, sebelum nyokap gw meninggal, atas saran nyokap gw.”

“Kok bisa?”

“Bisa aja.”

“Nyokap lu nggak marah? Trus di mana mereka sekarang? Kan katanya lu Cuma tinggal berdua sama bokap lu..”

Dinda mengangkat bahu, “Gw sendiri nggak tahu, Ayah nggak pernah cerita apa-apa lagi soal itu, tapi.. “ ucapan Dinda terpotong. Dahinya mengernyit dan matanya menerawang.

“Tapi apa?”

“Tapi entah mengapa, kok gw ngerasa mereka itu ada di sekitar gw ya? Gw nggak tahu siapa mereka, tapi.. kok rasanya mereka ada di dekat gw, tapi gw nggak inget apa yang bikin gw ngerasa kayak gitu, Na..”

“Emang lu nggak tahu sama sekali ciri – cirinya? Kan kalo saudara biasanya ada dikit – dikit miripnya..”

“Justru itu Na, masalahnya dia bukan anak kandung bokap gw. Dia itu anak bawaan istrinya itu, artinya, dia itu anak tiri bokap gw, trus kalau yang satu lagi gw nggak tau dia cowok atau cewek.”

“Lho, kok?”

“Iya, soalnya waktu itu adik gw itu masih dalam kandungan.”

“O…” mulut Nana mengerucut bulat mengucapkan huruf itu. keningnya sekarang ikut mengernyit, “Ya udah, kita selidiki aja..” ceplosnya enteng.

Kening Dinda jadi tambah berkerut, “Selidiki? Selidiki dari mana Na? Emangnya gw mo harus nanya Ayah gw lagi? nggak, mendingan gw nggak nanya dari pada dia sedih lagi..”

“Yee, siapa yang bilang begitu. Maksud gw.. lu cari aja diam – diam, siapa tahu bokap lu masih nyimpan photo lama, gw yakin nggak mungkin dia nggak nyimpan barang satupun..” Nana mengecungkan kedua jari telunjuk dan jari tengahnya.

Dinda mengangguk –angguk. Iya juga ya? Mungkin aja..

…………………

Pram tampak tengah sibuk dengan tumpukan koran di depannya. Tangannya sibuk membalik halaman demi halaman. Sebuah tongkat tersandar tepat di sampingnya. Dinda mendekati sosok itu dengan wajah ceria.

“Lho, udah pulang, Din?” tanyanya sebelum Dinda membuka suara.

“Udah, yah. Kan tadi Dinda masuk shift pagi.. ayah kok sibuk banget kayaknya, lagi ngapain sih?”

“Nggg, yah. Cari – cari sesuatulah! Udah sana makan, ayah udah masak tuh buat kamu.”

“Waahhh, ayahku baik sekali..!” puji Dinda. Ia lalu melenggang menuju pintu. Namun, baru beberapa langkah, ia baru ingat tujuannya semula waktu datang tadi. Ia kembali berbalik.

“Ayah..”

“Ya?”

“Ayah masih nyimpen album – album Dinda sama bunda waktu kecil nggak?”

“Ada. Kenapa?”

“Dinda mau lihat dong..!”.

“Buat apa, sayang?” jawabnya tanpa menoleh dari halaman yang  sedang dicermatinya dengan hati – hati.

“Dinda mau lihat sebentar, ada perlu, buat.. buat biodata.” Jawab Dinda bohong.

“Sebentar, ayah lihat dulu.”

Pram segera melipat korannya, lalu mengambil tongkatnya dan beranjak dari tempat duduknya. Dengan dibantu Dinda, ia segera membuka lemari pakaiannya, lalu menurunkan sebuah koper kecil yang sedikit berdebu. Dibukanya koper itu dengan hati – hati, lalu mengeluarkan isi demi isi dari koper itu. Dinda menunggu dengan dada yang berdebar.

Akhirnya, setelah tiga per empat dari semua isi koper yang terbongkar, didapatinya dua buah album berukuran sedang yang tampak sudah sangat usang. Dikeluarkannya kedua album itu, lalu diserahkannya kepada Dinda.

Dinda menerima album itu dengan campuran berbagai perasaan. Ia lalu membawa album itu ke kamarnya setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih. Pram memandanginya dengan tatapan aneh, lalu kembali ke kesibukannya semula.

Setibanya di kamar, Dinda tak sabar untuk segera membuka album itu. Dengan tergesa – gesa ia melompat ke tempat tidur, lalu membalik lembar  demi lembar photo yang terpajang di sana dengan teliti dan penuh selidik.

“Ah, kenapa semua hanya photo aku dan bunda? Kenapa tak ada photo tante Sintya atau anaknya itu?” desah Dinda kecewa dengan album yang bertama yang didapatinya tidak memberikan apa yang dicarinya.

Dinda lalu membuka album yang ke dua. Ia melakukan hal yang sama seperti yang pertama. Lembar demi lembar, photo demi photo. Hingga akhirnya ia akan menutup album itu dengan penuh kecewa, tiba – tiba.. matanya memaksanya untuk kembali ke halaman sebelumnya. Dua photo didempetkan jadi satu!.

Dengan hati – hati segera dilepaskannya steples yang menempelkan kedua photo itu dan terlihatlah wajah seorang wanita, yang dibuat bertahun – tahun yang lalu dan dengan dandanan yang mungkin sedang musim waktu zaman itu. Polesan make up tipis menutupi kulitnya yang putih, tapi hal itu tak membuat Dinda tak mengenali wajah itu. Ya, wajah yang beberapa waktu lalu dijumpainya! Yang terasa begitu dekat dengannya dan langsung akrab dengannya, yang anaknya selalu mendampingi dan membantunya, dia adalah.. Ibu Ryan! Ibu Zahra!

Dengan dada berdebar dan berharap cemas Dinda membaca tulisan di balik photo itu. “Sintya.” Dinda terhenyak.

………bersambung ke RB bagian 15…………………….

RB bagian 13

Pram memandang photo lama di dalam buku catatan pribadinya itu dengan cermat. Dahinya mengernyit. Matanya menerawang. Ia berpikir dan berusaha membandingkan wajah yang ada dalam ingatannya dengan wajah yang ada di dalam photo itu. Persis! Dugaannya pasti tak salah!

Tapi sesaat Pram bimbang. Benarkah anak itu adalah anak perempuan itu, anak Sintya? Kalau memang benar, mengapa anak itu tak pernah mengatakan apapun tentang dirinya ataupun tentang ibunya? Apakah karena anak itu tak tahu ada hubungan apa antara ia dan ibunya? Apakah wanita itu tak pernah cerita tentang apa yang sebenarnya terjadi sebelum anak itu lahir ke dunia ini? Ataukah ada sesuatu di balik semua ini?

Pram resah. Ingatannya melayang ke masa lalu, saat itu,  ke sebuah rahasia tak seorangpun mengetahuinya…

…………………

Delapan belas  tahun Lalu…

Pram mengendarai mobilnya dengan hati – hati melewati tikungan demi tikungan. Ia baru saja pulang dari menyelesaikan sebuah proyeknya di sebuah desa kecil di daerah Jawa barat. Sesekali matanya melirik spion dan sesekali memandang deretan tebing – tebing tinggi yang dilewatinya. Sepi dan sunyi.

Namun tiba – tiba matanya menangkap seperti sesosok orang yang terbaring diantara semak – semak di bawah tebing curam itu. Pram berusaha menepis pa yang terpikir oleh otaknya. Tapi, akhirnya ia menghentikan mobilnya juga dengan mendadak, lalu mundur kembali ke tempat yang tadi ia yakini dimana ia melihat sosok terbaring itu. Dadanya berdegup kencang ketika menyadari bahwa penglihatannya ternyata tidak salah! Seonggok tubuh manusia!

Sosok itu tak bergerak. Tapi Pram yakin sosok itu adalah manusia. Ia lalu memutuskan untuk turun, lalu mendekati sosok terbaring tak berdaya itu.

Pram terkesiap. Wanita. Ternyata seorang wanita!. Pram meraba denyut nadi wanita itu. Ia lalu bernapas lega ketika didapatinya nadi wanita itu masih berdenyut. Tanpa menunggu lagi, segera digotongnya sosok itu ke mobilnya, lalu melarikan mobil itu dengan kencang menuju rumah sakit terdekat.

…………………………..

Pram berdiri dengan gelisah di depan kamar sebuah rumah sakit. Dua puluh menit sudah ia menunggui wanita itu, namun wanita yang tak dikenal itu belum juga siuman dan dokter masih belum keluar dari kamar itu. hatinya bertanya – tanya, apakah sebenarnya yang terjadi dengan wanita itu? korban perampokankah, perkosaankah, pembunuhankah, atau apa?

Pram menduga – duga dalam hati, sambil sesekali menguap. Sampai sebuah teriakan histeris yang berasal dari kamar yang ditunggunya itu mengagetkannya. Pram mencoba mendekati pintu, namun belum ada tanda – tanda pintu itu akan dibuka. Lalu ia mencoba mengintip dari celah – celah hordeng jendela.

Samar – samar ia bisa melihat seorang wanita (wanita itu) sedang meronta dan histeris. Para suster dan dokter tampak berusaha menenangkannya dengan susah payah. Dan.. lalu wanita itu terkulai lemah. Mungkin diberi suntik penenang, pikir Pram.

Selang beberapa detik, pintu kamar itu terbuka. Seorang dokter segera menghampiri Pram, “Maaf, apakah anda keluarga yang ada di dalam?” tanya dokter itu pada Pram.

Pram menggeleng, “Sebenarnya bukan, dok. Memang saya yang membawanya tadi kesini dan mengurus administrasinya, saya temukan dia dalam keadaan tak sadar, saya sendiri belum tahu siapa dia.”

“O.. begitu. Namanya Sintya, ia mengatakannya kepada kami tadi. Sekarang ia sedang istirahat.”

“Sebenarnya apa yang terjadi dengannya, dok?”

“Hanya ia sendiri yang tahu apa yang menimpanya. Kemungkinan ia mengalami suatu peristiwa yang membuatnya shok berat, dan ia sedang hamil. Saya khawatir kondisinya bisa berakibat buruk bagi bayinya. Mungkin nanti setelah ia tenang, anda bisa menemui dan menanyainya. Saya permisi dulu, saya sarankan anda menungguinya dulu sementara waktu.”

“Baik, dok. Terima kasih.”

Dokter itu berlalu. Tinggallah Pram dengan kebingungannya. Ia lalu mengambil handpone-nya kembali, lalu menelpon Tyas, memberitahukan pembatalan kepulangannya. Ia lalu melangkah masuk menuju kursi ruang tamu kamar itu. Sekilas melemparkan pandangan ke sosok yang terbaring tenang di ruangan itu.

…………………….

Suara sesegukan tangis membangunkan Pram yang tertidur di sofa itu. Pram mengerjab – ngerjabkan matanya, lalu melihat Sintya, wanita itu, tengah menangis. Pram mencoba mendekat.

“Maaf, saya yang membawa anda semalam ke sini.”

“Kenapa?” tanya wanita itu dengan kesal, “Kenapa?”

“Mengapa? Mengapa saya bawa ke sini? Karena saya ingin menolong anda.” Pram sedikit kesal dengan pertanyaan itu.

“Biarkan, kenapa nggak biarin aja saya mati? Biar saya mati.. saya tak pantas lagi untuk hidup” wanita itu tergugu. Tangisnya semakin kencang dan memilukan, seakan sedang menyesali sesuatu. Bibirnya mengucapkan kalimat – kalimat tak jelas. Pram menunggu sampai wanita itu menuntaskan tangisnya.

“Boleh saya bertanya tentang apa yang menyebabkan anda seperti  ini? Saya janji akan membantu semampu saya.” Pram memberanikan diri bertanya.

“Nggak ada yang bisa bantu saya..!!”

“Saya akan coba.“Pram meyakinkan.

Wanita itu menyeka air matanya, ia terdiam beberapa saat, matanya menerawang jauh..

“Dia.. saya bertemu dengannya sudah lama, sejak saya bekerja di salah satu perusahaannya, dia bilang.. dia mencntai saya dan akan menikahi saya, tapi.. tapi dia malah menghancurkan hidup saya, dia meninggalkan saya, mencampakkan saya saat tahu saya sedang hamil, dan berpaling pada wanita lain. Ia menikah dengan wanita lain dan dia.. dia tidak mengakui anak ini..” wanita itu meraba perutnya.

“Saya sudah terlanjur berbohong pada keluarga saya bahwa saya saya sudah menikah beberapa bulan yang lalu. Ya, saya terpaksa berbohong demi anak ini, dan berharap ia akan segera menikahi saya walaupun hanya nikah sirri, dan kami bisa pulang menjenguk orang tua saya di kampung nanti bersama – sama. Tapi, dia tetap tidak mengindahkan permintaan saya. Ia malah pindah ke kota di mana wanita itu tinggal. Saya bingung..! saya ingin pulang, tapi saya tak berani pulang sendiri. Saya sudah terlanjur bilang kalau saya pulang bersama suami saya, tapi sekarang hidup saya sudah hancur, saya ingin mati saja.. biarkan saya mati..”

Wanita itu menangis lagi. Pram tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya duduk memandangi wanita itu dengan sedih. Sebuah pikiran lalu terlintas di benaknya.

“Berapa lama Nona…”

“Sintya, nama saya Sintya.”

“Ya, baik. Sintya, berapa lama anda akan menjenguk orang tua anda itu?”

“Orang tua saya di Sukabumi, biasanya hanya dua hari.”

“Hanya dua hari?”

“Ya, kenapa?”

“Saya rasa anda tak bisa pulang sendirian dengan kondisi psikologis seperti ini. Saya akan mengantar anda. Itu kalau anda tak keberatan dengan bantuan yang saya tawarkan itu.”

“Maksud anda?”

“Saya akan  mengantar nona, kalau nona mengizinkan, setelah itu saya akan pulang.”

“Itu artinya… tidak! saya tak sanggup pulang. Saya tak sanggup menghadapi semua ini! Saya nggak bisa..! Saya nggak berani..!”

“Saya akan antar.”

“Imbalan apa yang anda harapkan dari saya?”

“Tidak ada.”

“Apa?!” Sintya terperanjat.

“Ya, tidak ada. Saya hanya ingin membantu saja. Tapi, sungguh saya tidak akan melakukan apa-apa selain memainkan peran yang akan anda berikan kepada saya di depan orang tua anda, entah sebagai teman, adik, sopir, ataupun yang lainnya. Semua terserah anda. Hanya itu. saya bersumpah.”

“Setelah itu?”

“Setelah mengantar anda saya langsung pulang, dan urusan selanjutnya adalah urusan anda, tapi saya sarankan anda istirahat dulu di sana sampai kondisi anda membaik. Kasihan, bayi itu tak berdosa. Akan lebih berdosa lagi kalau membiarkannya tersia – siakan. Mati tak akan menyelesaikan masalah. Setiap masalah pasti ada penyelesaiannya, walaupun itu harus menempuh jalan yang sulit. Jadi, hadapilah! Mengakui kebohongan dan keadaan yang sebenarnya memang sulit, tapi akan lebih sulit lagi kalau menyelesaikan kebohongan dengan kebohongan lagi..”

“Jadi?”

“Jadi, saya sarankan anda menceritakan yang sebenarnya kepada keluarga anda, saya yakin mereka akan mengerti.”

Wanita itu termenung. Lalu mengangguk dengan perlahan. Itulah awal perkenalan mereka. Pram dan Sintya.

……………………..

DORRRR!!!

Suara dan tepukan di bahunya membuat Pram kembali ke dunia yang sebenarnya. Dilihatnya Dinda cengengesan duduk di sampingnya.

“Dinda, ngagetin ayah aja!”

“Emang ada yang papa pikirin ya?”

“Nggak..”

“Bohong. Buaya kok mau dikadalin?”

“Emang ini buaya, ya?” Pram menunjuk Dinda.

“Ah, ayah mah gitu!” Dinda cemberut, “Ayo dong cerita ke Dinda!”

“Emang nggak, Cuma ingat masa lalu.”

“Ah, yang bener? Ada yang ayah rahasiakan ya ke Dinda?”

“Emang kamu merasa begitu?”

Dinda mengangguk, “Dinda kan udah gede, Yah.. Dinda kan udah bisa mengerti. Ya, kalau ayah nggak keberatan Dinda menawarkan diri lho untuk mendengarkan cerita atau masalah ayah.”

“Duh, bidadari kecilku udah dewasa nih ceritanya?” Pram mengacak rambut Dinda, “Tapi bener kok, ayah cuma inget masa lalu..”

“Ya udah, kalau nggak mau, Dinda nggak maksa!” Gadis itu cemberut.

Pram tersenyum, “Lho, katanya udah dewasa? Tapi kok cemberut gitu? Ngambek? Ok, nih, sini papa ceritain. Dulu, jaman dahulu kala, seribu tahun yang lalu..” Pram memulai ceritanya, tapi tiba-tiba..

“Stop, stop. Ih, ayah nyebelin! emangnya Dinda anak kecil apa? Pake mulai dari jaman dahulu kala..”

“Lha, trus apa dong?”

“Apa kek, waktu kek, tahun kek..”

“Iya, ya.. bidadari kecil, eh, Bidadari dewasa. Begini.. “

Lalu mengalir mengalirlah cerita Pram tentang ingatannya tadi, tentang Sintya. Dinda mendengarkannya dengan serius.

“Lalu…?”

“Lalu kami sempat bertemu beberapa kali setelah itu dan setahun kemudian baru ayah menikah dengannya, dengan Sintya.”

Dinda merasakan debar di dadanya lebih cepat dan semua saraf – sarafnya menegang, “Jadi.. jadi ayah punya istri lain selain bunda? Ayah  ayah pernah  mengkhianati bunda?”

“Tidak.”

“Lalu?”

“Ayah menikahi Sintya atas saran dan persetujuan dan saran dari  bundamu.”

“Bunda melakukan itu? mengapa?”

“Itulah yang sampai sekarang belum ayah mengerti. Ia merelakan berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Yang ayah tahu..Tyas, bundamu,  adalah seorang bidadari, benar – benar seperti bidadari dan  memiliki hati bidadari, sampai sekarangpun ayah tak tahu rahasia bidadari itu sehingga bisa setegar itu…”

“Lalu, dimana tante Sintya sekarang?”

“Ayah nggak tahu.”

“Apa bunda pernah bertemu dengannya?”

“Belum. Seharusnya kita, Ayah, bunda, dan kamu bertemu empat belas tahun yang lalu. Tapi, kecelakaan itu… ya, dalam perjalanan kesana terjadi kecelakaan itu, dan bundamu…” Pram tak kuasa meneruskan kata – katanya.

“Ya, Dinda mengerti. Tapi, kenapa setelah itu ayah tidak mau menemui siapa?oh, tante Syntya?”

Pram menatap Dinda sedih.

“Bukannya tidak mau. Enam bulan setelah kecelakaan itu, setelah ayah sembuh, ayah berusaha mencarinya ke rumah kami yang dulu, tapi kata para tetangga di sana, Sintya dan anaknya sudah pindah sejak beberapa bulan yang lalu, lalu papa mencari ke rumah orang tuanya, di Sukabumi, tapi mereka bilang, mereka tak tahu apa – apa tentang keberadaannya..”

Dinda manggut-manggut, dahinya berkerut.

“Ngg.. bukankah dia punya anak?”

“Ya, dua orang, yang satu mungkin kalau masih hidup, mungkin seumur kamu, karena waktu itu kalian lahir secara bersamaan, Cuma beda bulan. Sedang satu lagi waktu itu masih dalam kandungan. Ayah juga nggak tahu, laki – laki atau perempuan..”

“Berarti Dinda punya adik tiri?”

“Bukan, satu kakak tiri, dia lebih dulu lahir dari kamu. Dan satu adik tiri”

“Ya, kakak tiri dan adik tiri.” Ucap Dinda pelan.

Kepala Dinda kembali berusaha memecahkan semua kata – kata yang terekam di otaknya tadi. Sebuah rahasia besar. Tapi, anak –  anak itu… di mana sekarang anak yang disebut – sebut papa sebagai saudara tirinya itu? satu tanya sudah terjawab, meninggalkan pertanyaan baru di hati Dinda. Ibu tiri, saudara tiri…

“Oh ya, gimana kerjaannya? Dapet di butik atau took Islam seperti saran Ryan itu?”

Dinda menggelang, “Nggak yah, susah! Pada penuh! Kayaknya Dinda nyari kerjaan di restoran biasa aja dulu deh, sambil lihat – lihat kerjaan lain.”

“Yaaah, ayah nggak jadi ngelihat bidadari ayah pakai jilbab dong!”

“Emang belum saatnya kali, yah! Dinda kasih Zahra aja gelar bidadarinya deh, kan Zahra pakai jilbab!”

Pram tertawa,” Kamu ini ada – ada aja.”

Dinda ikut tertawa.

……………bersambung ke RB bagian 14…………..

RB bagian 12

Hari kepulangan Pram dari rumah sakit…

Dinda dan Ryan memapah Pram memasuki halaman sebuah rumah kecil yang sederhana. Sementara itu Zahra membawakan barang bawaan mereka. Pram terlihat ragu ketika Dinda membimbingnyanya masuk dan membuka pintu rumah dengan kunci yang dibawanya, sedangkan Ryan kembali ke luar untuk membantu Zahra menurunkan barang – barang bawaan mereka. Berbagai pertanyaan berserakan di kepalanya. Dinda segera membawa ayahnya duduk di kursi. Lalu ia sendiri duduk di sampingnya. Keningnya tampak mengkerut  berusaha mencari kata – kata yang tepat untuk menjelaskan semua yang ada di kepalanya.

“Ayah,  maafin Dinda ya, karena sekarang kita udah nggak punya rumah sebagus dulu, dan Dinda menyewakannya tanpa menunggu persetujuan ayah dan sekarang, ayah terpaksa tinggal di rumah kecil ini.. Dinda janji ya, nanti setelah Dinda dapat kerja, Dinda akan nabung, biar kita bisa tinggal  rumah itu lagi..”

Dinda menggenggam tangan Pram. Pram memandang Dinda beberapa saat dengan perasaan haru, sedih, dan bangga. Dinda, inilah salah satu sikap Dinda yang persis sekali seperti Tyas, selalu minta maaf terlebih dulu kalau merasa salah. Perasaan yang begitu lembut dan perasa. Ah, Tyas.. seandainya kamu masih ada, kamu pasti bangga melihat Dinda sekarang, anak kita sudah dewasa..

“Ayah? ayah marah sama Dinda?” Dinda bertanya sekali lagi ketika melihat Pram tak juga menjawab pertanyaannya sekali lagi.

Pram tersadar dari lamunannya. Senyumnya mengembang. Segara dipeluknya gadis kecilnya itu dengan saying, “Dinda, mana mungkin ayah marah..  ayah justru bangga, karena kamu udah bisa ngambil keputusan sendiri, ayah bangga kamu bisa bertahan merawat ayah selama itu. Yah, harta hanya titipan dari yang Maha Kuasa dan dapat dicari, tapi keluarga? rumah kita sekarang ini emang kecil, tapi bukankah sering dikatakan ,’ rumah yang sempit akan terasa lapang, asalkan penghuninya berhati lapang’ ya, kan?” Pram mengusap rambut putrinya dengan sayang. Ryan yang sudah selesai membereskan barang – barang menyaksikan pemandangan ayah dan anak itu dengan penuh perhatian dan penuh rasa haru. (hiks.. hiks.. kayak di telenovela.. L)

………………

Jakarta, Awal Juni 2005

Dinda mengemasi berkas – berkasnya yang berceceran di lantai.  Ini adalah hari ke tiga ia berkeliling di tengah panasnya kota demi mengharapkan sebuah pekerjaan. Panas dan hujan sudah dilewatinya. Perkantoran di gedung – gedung bertingkat sampai yang hanya di petakan kecil sekalipun telah dimasukinya. Namun sampai saat ini belum membuahkan hasil. Semuanya tersangkut pada riwayat kesehatannya, TBC. Memang sih ada beberapa kantor yang tidak mempedulikan itu, tapi tidak ada kecocokan dalam gaji. Atau ada yang gajinya cocok, pekerjaannya yang tidak sesuai dengan keinginan.

Huff. Ternyata emang sulit ya, cari kerja dengan Cuma bermodal ijazah SMU, desah Dinda. Ijazah? Ya, berkat kemurahan hati kepala sekolahnya, akhirnya Dinda diperbolehkan mengikuti ujian akhir dan tentu saja di tempat yang terpisah dari murid lainnya. Dan berkat kesungguhan Ryan dan Zahra (lho, kok mereka? Oh iya, pasalnya sebelum mengikuti ujian, merekalah yang mengajari Dinda semua materi yang sempat ditinggalkan Dinda), hingga akhirnya gadis itu bisa memperoleh ijazahnya beberapa hari yang lalu.

“Ehem.. ehem.. anak ayah sedang mikirin siapa nih? “ deheman ayahnya membuat Dinda berhenti melamun. Pram, ayahnya tengah berdiri di pintu kamar dengan kruk di ketiak kanannya. Muka Dinda langsung bersemu merah (kepergok ni ye..).

“Ah, ayah! Nggak kok, Dinda Cuma lagi mikirin kerjaan apa lagi yang harus Dinda coba lamar.” jawab Dinda.

“O, kirain mikirin ngg..” Pram pura – pura berpikir dan menopang dagunya, berpikir.

“Nggg apa? Ayo, mulai deh! Ayah ada – ada aja, yang Dinda pikirin tuh Cuma ayah, suwer deh! Tak kan ada cinta yang lain..” Dinda menirukan sebuah lagu yang cukup ngetop. Tiba – tiba..

“Assalamu ‘alaikum!”

Suara dari pintu membuat Dinda berhenti berkoar, eh, menyanyi!. Hm.. pasti Ryan, bisik gadis itu dalam hati. Dan ternyata dugaannya nggak salah, Ryan memang udah cengar – cengir di sana!

“Hmmm, lumayan juga suaranya,” komentar Ryan iseng. Dinda tersenyum malu. Tapi.. “Lumayan nakutin tikus maksudnya! he..he..”

Dinda berubah manyun. Huh! Dasar, nyebeliinnnn lin.. lin..!

“Ada juga nggak apa – apa kok, Oh ya, Din, kamu udah putusin kamu mau kuliah Dimana? Ryan gimana? Oh ya, kok tumben Zahra nggak ikut?” tanya Pram.

“Eh, ada ooom. Zahra bentar lagi juga nyusul kesini  oom.” cowok itu mesem – mesem begitu menyadari Pram sedang duduk di kursi tamu. Gantian Dinda yang cengar – cengir. Rasain!

“Ryan diterima di teknik ITB om, jadi, minggu depan harus berangkat ke Bandung.” jawab Ryan.

“Gitu – gitu kan fisikanya paling pinter di sekolahan yah! Kalo Dinda, Dinda belum tahu, pokoknya Dinda nggak mau macam – macam, Dinda Cuma pengen ayah sembuh dulu, baru abis itu mikirin kuliah Dinda, ok?” ucap Dinda sambil membolak balik tawaran yang diberikan Anggi kemarin, mulutnya mengerucut.

“Oh iya, gimana keadaan ibumu? Sehat? Ah, karena kamu udah banyak bantu om dan Dinda, mungkin nanti sesekali om pengen ketemu sama ibumu.” Sambung Pram.

Ryan terlihat sedikit gelagapan, “Nggg, ibu sehat, om. Tapi sekarang sedang sibuk, ngg.. mungkin..” suara Ryan tersendat, seperti ada sesuatu mengganjal tenggorokannya.

“Mungkin apa?”

“Ah, nggak, om.” Jawab Ryan menutupi apa yang ada di pikirannya. Pram tak lagi bertanya. Karena Dinda segera menyodorkan sebuah iklan yang sudah digarisi di depan mukanya.

“Yah, lihat deh! Nggg, kalo ngelamar pelayan di restoran untuk sementara dulu nggak apa – apa kali ya? Gimana yah, cocok nggak tampang Dinda yah? Ok kan Yan?”

“Cocok, buat nakutin preman yang nagih uang keamanan Din! he..hee.. “ jawab Ryan asal. Ggrr.. Dinda tambah cemberut, “Becanda denk! Mendingan cari kerjaan part time di butik – butik atau toko islam aja Din, kan kamu bisa sekalian belajar pakai jilbab.”

Kening Dinda berkerut, “ Belajar pakai jilbab kayak Zahra?”

Ryan mengangguk. Dinda memandang Ayahnya, “ Pantes juga kali ya, yah? Seragam kerja panjang, trus pakai jilbab, gimana yah?” Dinda memandang Pram meminta pendapat.

Pram terdiam. Ia mengerti dengan ucapan putrinya. Dinda, sebegitu besarkah cintamu pada ayahmu ini? Sampai harus mencari pekerjaan dan menunda kuliah demi Ayahmu ini? mengapa selama ini aku tak menyadarinya selama ini?

“Lho, kok ayah jadi diam? Dinda kan nanya pendapat ayah…” Dinda bingung. Ryan yang tadinya cengengesan ikut diam.

Pram menatap Dinda, “Nggak, nggak apa – apa kalo kamu suka, lagian mungkin memang sudah sepantasnya kamu memakai kerudung. Dan sementara itu, sambil nanti ayah coba hubungi beberapa mantan relasi papa di kantor apa ada yang butuh staff di sana, sekaligus nanyain apa ayah masih bisa masuk lagi ke sana. Ngg..  tadi, ayah cuma mikir aja, kalau ayah nggak ngalamin seperti ini, kamu pasti sedang sibuk seperti temen – temenmu yang lain sekarang, sibuk nyari tempat kuliah, tes ke sana – sini atau siap – siap kuliah di universitas favorit dan bukannya sibuk cari kerjaan. “

“Udah ah, ayah. “ Dinda memotong perkataan ayahnya, ”Kok ngomong gitu sih? kan ayah sendiri yang ngomong, semua ada hikmahnya, jadi kita ambil hikmahnya aja, ok? Mungkin Dinda mau ngasih kesempatan dulu buat orang lain kuliah di sana, lumayan kan satu bangku? Hmm, Dinda mo masak dulu, biar ntar kita bisa makan bareng – bareng. Ayah ngobrol aja sama tuan iseng ini ya? Ok?” ujar Dinda. Bibirnya berusaha menyunggingkan senyum, sebelum berlalu menuju dapur. Pram geleng – geleng kepala melihat ulah putrinya. Dinda.. Dinda !

Di dapur, Dinda merenungkan kembali kata – kata ayahnya. Hati Dinda terasa teriris. Bukan, bukan karena ia memikirkan kenyataan bahwa dirinya tak bisa seperti teman – temannya yang lain, juga bukan memikirkan keadaan ayahnya yang membuatnya seperti ini.. karena tanpa  kejadian yang menimpa ayahnyapun ia pasti akan mengalami seperti ini. Tapi, hatinya terasa pedih karena memikir kenyataan tentang keadaan dirinya yang kian hari semakin memburuk dan membayangkan waktu yang semakin menyempit, Apalagi mengingat beberapa hari terakhir ini frekuensi batuknya yang semakin menjadi – jadi dan dadanya yang sering kali terasa sakit. Pilu.

……………bersambung ke RB bagian 13………..

RB bagian 11

Pram membuka  matanya perlahan. Cahaya yang masuk di sela – sela gorden membuatnya tak bisa membuka mata secara langsung, karena belum terbiasa dengan sinar terang. Perlahan, matanya yang masih kabur mencoba menangkap bayangan gadis yang tertidur pulas di samping tempat tidurnya. Dinda. Tangan Pram berusaha menggapai dan  membangunkan gadis semata wayang kesayangannya itu. Namun, sepertinya tangannya terasa sangat lemah, sehingga hanya mampu mengenai gelas yang tergeletak di sampingnya. Gelas itu oleng beberapa saat sebelum akhirnya pecah berantakan jatuh ke lantai.

Praaannggg..!!!

Dinda terlonjak dari tidurnya begitu mendengar benda pecah yang tak jauh dari telinganya. Matanya yang masih bengkak mencoba mencari sumber suara. Dinda langsung terlonjak kaget dengan apa yang di lihatnya. Di depannya, Ayahnya telah membuka mata. Ayahnya telah sadar!

Dinda segera memanggil dokter dan perawat. Setelah dokter mamastikan bahwa Pram, ayahnya, akan baik – baik saja, langsung saja bak anak kecil, Dinda segera memeluk, menciumi tangan dan kening ayahnya dengan suka cita. Sedangkan bibir mungilnya tak henti – hentinya mengucapkan syukur. Tak dihiraukannya dokter yang meninggalkannya dengan geleng – geleng kepala, serta Ryan dan Zahra yang baru datang membawakan makan siang yang menatapnya dengan penuh rasa haru dan bahagia.  Air mata ikut menetes di pipinya. Satu masalah terselesaikan, walaupun ribuan  masalah lainnya masih menunggu gadis itu.

……………………………

“Din…”

Sebuah suara mengagetkan Dinda yang sedang menyuapi ayahnya sarapan bubur pagi itu. Rasanya dulu suara itu pernah bergaung di pendengarannya. Dinda menoleh dengan cepat.

“Selvy?” Dinda mengerjapkan matanya, mencoba meyakinkan penglihatannya. Ryan yang berdiri di samping Selvy menganggukkan kepala meyakinkan Dinda, lalu menggantikan Dinda menyuapi pak Pram.  Dinda tak segera berbicara, setelah diambilnya sapu tangan penutup mulutnya kalau batuk, gadis itu langsung mengajak Selvy ke ruang tunggu di depan kamar ayahnya. Pikirannya masih berkecamuk, untuk apa dia ke sini setelah semua yang terjadi?

“Sorry Din, gw baru dateng sekarang, gw minta maaf atas kejadian waktu itu.” jelas Selvy, penyesalan jelas terpancar dari  matanya. Dinda memandang Selvy bingung.

“Minta maaf?”

“Ya, minta maaf atas sikap gw, lu mau kan maafin gw, Din?”

Dinda tergagap. Ya Tuhan, apakah ini berarti dugaannya selama ini terhadap Selvy adalah benar?

Kening Dinda berkerut, tapi ia tak berani bertanya apa – apa selain menganggukkan kepala, “Gw.. gw nggak pernah mikirin itu lagi kok, gw udah maafin semuanya.”

Selvy langsung memeluk Dinda, “Gw ternyata salah paham ya Din sama lo, ternyata lu baik banget orangnya, kita temenan, ya ? gw malu sama sikap gw selama ini sama elo, Din.”

Dinda bengong. It’s Right? It’s enough ? apakah semua ini sudah cukup untuk membayar semua kesalahan itu? Semudah itukah? Seakan itu adalah kesalahan yang sangat kecil?

“Selvy..!!”

Sebuah bentakan dari belakangnya membuat Selvy melepaskan pelukannya dari Dinda. Anggi berdiri di sana dengan wajah yang hampir memerah menahan marah. Demikian juga Dengan Selvy yang tiba – tiba berubah sangar.  Sungguh, bukan seperti Selvy yang baru saja dihadapi Dinda.

“Ngapain lu di sini?” Anggi langsung menarik tangan Selvy dengan kasar, seolah – olah menjauhkan gadis itu dari Dinda.

“Lu sendiri ngapain?” balas Selvy sengit.

“Mau tau aja lu, gw ingetin ya, lu jangan coba – coba deketin Dinda, jangan mentang – mentang selama ini gw nggak bareng Dinda deh! atau lu kurang puas udah ngerebut gelar siswa teladan? Jangan pura – pura baik, ok!?” Anggi mendorong Selvy agar gadis itu  menjauhi Dinda.

“Gw nggak pura – pura baik Din, Nggi, tapi..” Selvy memandang Dinda ragu,”Ah,  Ok, Din. Ngg.. ok, gw pulang dulu ya?”

Tanpa menunggu jawaban, akhirnya Selvy meninggalkan Dinda yang masih melongo dengan pandangan tak mengerti menatap mantan sahabat dan mantan saingannya itu. Ada apa ini? kenapa Anggi dan Selvy bisa datang tiba – tiba dan secara hampir bersamaan? Kenapa Anggi begitu marah ketika Selvy mendekatinya? Dan kenapa Anggi tiba – tiba muncul setelah sekian lama dan seakan – akan selama ini tak ada apa – apa? Ada apa lagi ini ya Tuhan?

“Din, maafin gw ya? selama ini, gw tau gw salah ninggalin lu sendirian. Gw baru sadar, seharusnya gw nggak ngebiarin lu sendirian memikul beban seberat ini.“ ucap Anggi berubah lembut.

Dinda semakin bingung. Tadi Sevy, sekarang Anggi? Ada apa sebenarnya?

“Din..” Anggi menepuk bahu Dinda.

Dinda tersadr dari lamunannya, “Eh, I..iya, udahlah Nggi, lu nggak salah, semua wajar kok.” Ujar Dinda sambil menahan batuknya.

Dinda menatap Anggi. Keduanya tersenyum. Lalu Anggi menarik Dinda menuju mobil, mengambil plastik berisi oleh – oleh yang dibawanya.

“Selvy ngapain nemuin lu, Din?” tanya Anggi sambil mengeluarkan bawaannya dari bagasi.

“Dia minta maaf.”

“Minta maaf?”

“Ya.”

“Tuh kan? Benerkan dugaan gw..”

“Dugaan apa?”

“Iya, dia pasti mau ngambil kesempatan buat ngedeketin lu selagi kita – kita nggak ada.. jangan – jangan dia juga lagi yang ngelakuin semua ini sama elo, sampai – sampai kita benci sama elo…” Anggi menutup bagasi, lalu kembali mengunci mobilnya.

“Nggak tahu lah, siapapun nggak masalah. Semua udah lewat Nggi.” Ucap Dinda, lalu mengikuti Anggi yang berjalan masuk menuju kolidor rumah sakit yang menghubungkan dengan kamar ayahnya.

Sementara itu…

Selvy mengamati Anggi dan Dinda yang berjalan dari kejauhan dengan kesal. Dinda. Sedikit lagi! padahal sedikit lagi… seandainya saja Anggi tidak muncul, pasti ia akan berhasil melakukan hal itu! pasti ia akan bisa mengatakan hal itu! tinggal selangkah lagi! ah, Dinda, gadis itu begitu kuat, tapi akankah ia masih sekuat itu jika mengetahui kenyataan itu?. Bisik batin Selvy lirih, lalu meninggalkan kawasan rumah sakit.

………..…………….

“Aku bingung..” ujar Dinda suatu sore kepada Zahra dan Ryan.

“Bingung?” sahut Ryan dan Zahra berbarengan. Zahra memandang Ryan dengan tajam. Ryan mengerti arti pandangan itu.

“Ya.”

“Sebabnya?” kali ini hanya Zahra yang menyahuti, sedangkan Ryan kembali sibuk dengan buku di tangannya.

“Ya… a.. aku bingung sama Anggi dan Selvy, kok mereka tiba – tiba dateng barengan, padahal selama ini mereka nggak pernah mikirin aku, eh, kok pada dateng tiba – tiba, apalagi sampai nengokin ayah.. udah gitu mwnghilangnya juga barengan. Aneh kan?”

Zahra mengerutkan kening. Ryan yang mau tak mau ikut mendengar, juga  ikut berpikir, walaupun matanya terpaku pada buku di tangannya itu.

Dinda menceritakan pertemuannya siang itu dengan Anggi dan Selvy, kedua  gadis itu memang langsung tiba – tiba menghilang, alias nggak pernah datang lagi menemui Dinda. Cukup aneh memang. Apalagi sikap Selvy yang berbeda waktu itu, yang seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi entah apa Dinda tak tahu.

“Aneh memang, tapi menurut aku, kak Dinda nggak usah pikirin, mungkin aja ini jawaban atas doa – doa kakak selama ini atau memang Allah telah membukakan pintu hati mareka saat ini, siapa tahu..!!” Zahra mengangkat bahu, “Udahlah kak, nggak usah bingung, yang namanya temen, seneng bareng, susah juga bareng, lupain aja mereka, banyak yang harus kakak pikirin selain mereka. Trus ntar kalo kakak udah bener – bener sembuh, baru deh kakak pilih yang mana yang bener – bener temen.”

“Betul, Din!” Ryan akhirnya menimpali juga, “Sekarang mulai aja siap – siapin barang buat pulang, tadi aku udah bicara ke dokter, katanya kalau keadaan normal – normal aja lusa om udah bisa dibawa pulang.”

“Bener?” Dinda kaget,”Kok kalian nggak bilang – bilang sama aku sih? Jahat!“ Buugg! Dinda melempar dua bantal kursi yang tadi di tangannya kepada Ryan dan Zahra, membuat kedua kakak beradik itu reflek mengelak.

Dan dalam waktu singkat, bantal di ruangan itu melayang kembali. Perang bantal!

“Kan surprise, abisnya kamu betah kayaknya di rumah sakit.. he.. he…” Ryan nyengir melihat wajah Dinda yang berlipat empat cemberut. Melihat itu, Zahra yang biasanya tak suka menggoda jadi ingin menggoda, “Eit, kak, udah minum obat belum ? Ntar aku yang repot lagi..”

Dinda jadi bengong. Lho, Kok dia yang repot?

“Iya, ntar aku yang repot bawa kakak ke rumah sakit jiwa! ha.. ha..”

Blukgk! Sekali lagi bantal di tangan Dinda mengenai kepala Zahra, “Dasar! Kakak adik jailnya kompak..!”

Namun, akhirnya gadis itu beranjak juga mengambil kantong obat di laci tak jauh dari tempat duduknya. Satu persatu obat tablet yang bertuliskan rifamficin, pirazinamid, etanbutol, dan streptomizin itu di keluarkannya dan di telannya dengan segelas air yang diangsurkan Ryan kepadanya. Tapi, baru beberapa saat..

“Yan..”

“Apalagi? Bentar Yan, bentar Ra, kenapa?”

“Gimana ya kabarnya Fery?”

Ryan terdiam sesaat. Ada perasaan tak tega tergambar di sana. Dinda, seandainya saja kamu tahu kenyataannya..

“Udah ah, ngapain sih kamu mikirin dia?” Ryan sewot.

“Ya, lupain aja kak, kalau jodoh kan nggak akan kemana..” Zahra ikut – ikutan.

“Yeee, anak kecil ikut – ikutan, emang tahu?” balas Dinda. Zahra nyengir. Dinda tersenyum penuh kemenangan karena berhasil membuat Zahra diam, “Hmm…”

“Apa lagi?” Ryan dan Zahra berbarengan.

“Nggak, Cuma mikir aja, sampai kapan ya aku kayak gini? Apa aku bisa ya bertahan terus sama obat – obat  ini?”

Dinda menatap sekantong obat di tangannya dengan sedih. Ryan menatap Dinda perasaan tak menentu.

“Din, kamu pasti bisa bertahan, percayalah Din. Kamu aja bisa melewati masa – masa sulit kemarin, kenapa sekarang kamu nggak bisa? Kamu pasti bisaa! Aku dan Zahra akan terus nemenin kamu Din, sampai kamu sembuh..” Ryan menatap Dinda, berusaha membangkitkan rasa optimis gadis rapuh itu.

“Kalian nggak takut ketularan?” tanya Dinda.

“Kak Dinda. Aku ulangi, Temen susah bareng, seneng juga bareng. Kalo aku berpikiran kayak gitu, udah lama kita nggak mau deket – deket sama kakak! Itu kata seseorang sih..”Zahra mengerling ke arah Ryan.

Ryan jadi salah tingkah.

Zahra menggengam tangan Dinda, “Aku nggak berharap apa – apa, aku Cuma pengen lihat kak Dinda yang dulu, yang selalu tersenyum.  karena itu, kakak harus terus berjuang ya? Mau kan demi aku? Please.. please…” Zahra menangkupkan kedua tangannya di dada, membuat Dinda tertawa melihat ekspresinya yang lucu. Ryan ikut tertawa.

“Huuu! iya Nona sok dewasa. tapi, dapet kata – kata dari mana nih anak?”kening Dinda mengerut.

“He.. he..” Zahra nyengir, “Dari buku harian seseorang..” jawabnya polos, sambil mengerling jail ke arah Ryan.

Hukk. Muka Ryan langsung bersemu merah seketika. Ketiganya lalu larut dalam canda di sela – sela batuk kecil Dinda, walau masih terbesit kerinduan dan pertanyaan dalam hati Dinda.

Ah, seandainya yang berkata demikian adalah Fery dan teman – temannya.. Tapi, entahlah! Fery, kemana sosok itu? mengapa tak sekalipun Fery menemuinya? Lalu ayah? Jika mereka akan pulang besok, bagaimana cara menjelaskan semua yang telah terjadi kepada lelaki itu? termasuk masalah penjualan rumah? Serta menjelaskan kenyataan yang ada?

“Eh, Din..” Suara Ryan membuyarkan lamunan Dinda.

“Ya?”

“Untuk besok siang aku udah minta tolong si mbok buat nungguin papa kamu, karena itu kamu bisa ikut aku dan Zahra besok.”

“Ikut? Kemana?”

“Ke rumahku, ke rumah kami.”

“Emang ada acara apa?”

“Nggak, kita kan cerita sama ibuku tentang kamu. Nah! besok, aku, Zahra,   mau ajak kamu kenalan sama beliau, mau kan?”

Dinda berpikir sejanak, lalu “Ngg, nggak apa-apa kali ya? ya deh! jam berapa?”

“Jam  setengah satu siang.”

“Ok.” Jawab Dinda. Ngg..ibu, seperti apa ya, ibunya Ryan dan gadis kecil itu? Ah, mudah – mudahan saja baik, lembut, pengertian, ramah.. ah, Bunda, itukan seperti bunda. Mungkinkah ibunya Ryan juga seperti bunda?

Dinda kembali tenggelam dalam lamunan dan angan – angannya.

…………………

Dinda mngikuti Ryan dan Zahra memasuki pekarangan sebuah ruah mungil. Ryan mengetuk pintu rumah mungil itu. Tak berapa lama kemudian seorang wanita setengah baya membukakan pintu itu dan menyambut mereka dengan ramah dan penuh senyum. Dinda segera menebak, mungkinkah ini ibu mereka?

Dugaan Dinda tampaknya tak meleset. Ryan dan Zahra segera membungkuk mencium tangan wanita itu. Dinda mengikuti melakukan hal yang sama dengan agak canggung dan kikuk. Tangan lembut wanita itu tampak sedikit gemetar ketika kulitnya bersentuhan dengan tangan Dinda.

“Bu, ini Dinda,”Ryan memperkenalkan Dinda, “Din, ini ibuku.”

“Ibuku juga.” sambung Zahra tak mau kalah.

Dinda tersenyum. Wanita itu membalas senyumnya,”Ayo, silahkan duduk. Ibu bikinkan minum dulu ya, Dinda mau  minum apa?”

“Ah, nggak usah repot – repot, bu. Apa aja boleh.”

Ryan dan Zahra pamit sebentar meninggalkan Dinda untuk berganti pakaian. Dinda mengamati seisi ruangan itu. Ruang tamu yang sederhana. Tak ada pajangan, hanya ada beberapa photo Ryan sewaktu masih SD dan SMP, juga photo Zahra dan beberapa photo ibu Ryan sewaktu masih gadis. Tiba – tiba saja Dinda merasakan ada sesuatu yang kurang di ruangan itu. Tapi, ia tak segera menemukan kekurangan itu, karena pikirannya segera terhenti karena ibu Ryan telah kembali dengan membawa nampan yang di atasnya ada tiga gelas air sirop.

“Maaf, ya Din, ini seadanya.” Ibu itu meletakkan gelas di depan Dinda.

“Nggak apa-apa kok, bu.” Jawab Dinda, bersamaan dengan kemunculan Ryan dari arah kamarnya. Tampaknya ia sudah berganti baju.

“Bagaimana kabarnya ayah Dinda sekarang?”

“Ya, udah lumayan baik, bu. Mungkin besok udah bisa pulang.”

“Syukurlah..” wanita itu menarik napas panjang. Ada suatu perasaan lega dalam nada suaranya.

Demikianlah! Setelah itu dua jam mereka terlibat dalam percakapan – percakapan sehari – hari. Mulai dari pekerjaan, sekolah, sampai – sampai membicarakan resep masakan, dan banyak hal lainnya, diselingi tawa renyah yang sesekali terdengar. Akrab dan hangat, walaupun banyak hal yang tak dimengerti oleh Dinda dalam percakapan itu.

……bersambung ke RB bagian 12……………….