SMS bagian 7

AJARI AKU MENGENAL-NYA

“Shin…” Suara Indra membuat Shin kembali ke alam nyata, meluluh lantakkan kenangannya lima tahun yang lalu. Kenangan yang ditinggalkan Reina, kenangan terpahit yang pernah ada, sekaligus yang membuatnya meninggalkan negeri  ini dulu.

“Eh…iya, do-shita-no?” Shin menjawab dengan gugup

Are you oke?” tanya Indra bingung.

“Ya, Shimpai shinai-de.” Shin menyembunyikan apa yang tadi sedang dipikirkannya.

“Kalau kamu mau istirahat, ruangan di pojok sana bisa dipakai kok.” Indra menunjuk ke sudut mesjid.

Shin menggeleng. Indra tersenyum, lalu kembali konsentrasi ke acara yang akan berlangsung.

Tak lama kemudian akad nikah Indra dimulai diiringi tatapan bingung Shin yang masih menyelimuti hatinya. Pernikahan itu sama sekali tak dimengertinya. Berbagai pertanyaan semerbak di hati Shin. Pernikahan macam apa ini? Kalau bukan pernikahan Indra, ingin rasanya Shin pergi dari tempat aneh  yang begitu banyak hal yang tak ia mengerti ini.

Setelah acara pernikahan sederhana itu selesai, kedua Rombongan mempelai itu langsung menuju ke rumah Rani yang tak jauh dari rumah keluarga Indra. Indra menghampiri Shin dan mengajaknya berbicara di taman belakang rumah yang asri. Acara ramah – tamah selanjutnya baru akan mulai satu jam lagi, jadi Indra mempergunakan waktu itu untuk berbicara dengan Shin.

“Shin, kau pasti memikirkan hal – hal yang menurutmu aneh  dan asing yang terjadi di sini.” Indra memulai pembicaraan setelah sebelumnya memperkenalkan Rani kepada Shin, wanita yang saat ini telah sah menjadi istrinya. Rani lalu meninggalkan mereka untuk bersiap – siap untuk acara ramah tamah nanti.

“Ya, Ndra, begitu banyak yang aku nggak mengerti, What happened with you? Your family? dengan hal – hal yang kau katakan… what, o.. ibadah itu, dengan… sorry, pernikahan anehmu itu, termasuk ibu dan istrimu yang tiba – tiba  berpakaian aneh itu, padahal kamu tahu kan aku benci itu, aku benci kain yang namanya..entah apa itu! semua aneh! Sitteru-desho?.” ucap Shin sinis. Matanya memancarkan pertanyaan dan juga kebencian.

Indra memandang Shin, memcoba memahami apa yang ada di pikiran sahabatnya itu. Ia mengerti apa yang dirasakan Shin. Mungkin luka itu masih membekas.

Shitteru. Shin, kamu inget nggak saat kamu pindah lagi ke Jepang?”

Of course, kamu mau ngledekku? Mau bilang kalo aku pengecut lagi?”

“Nggak.” sanggah Indra lembut.

“Lalu?”. Ucap Shin lantang, dahinya mengernyit.

“Waktu kamu tetap memutuskan untuk pergi, saat itu terbesit di hatiku. Aku bertanya – tanya dalam hati. Aku jadi kepikiran,  seindah apa sih Islam yang diyakini Reina itu? Sampai dia sanggup berpisah denganmu?”

“Lalu?”

“Lalu saat itu aku berpikir, aku juga Islam, agama orang tuaku Islam, dari keluarga Islam, tapi kenapa aku tak pernah tahu apa – apa tentang Islam? tentang keindahan agamaku itu? tentang perintah – perintahnya, Kitabnya, Aturan – aturan di dalamnya?”.

“Lalu apa hubungannya dengan semua ini?”

“Aku mendatangi Reina lagi. “

What for?”

I asked her. Aku bertanya tentang apa saja yang mengganggu hatiku.. tentang Islam, juga tentang waktu yang kita habiskan di kafe yang padahal akan sangat bermanfaat kalau kita pakai untuk hal yang berguna, lalu  juga tentang Jilbab itu, lalu…”

“Stop Ndra, to the point aja.”

Indra tahu Shin memang tak suka bertele – tele. Ia orang yang to the point. Tapi Indra ingin Shin juga mengerti dan tak salah paham lagi dengan keputusan Reina. Juga Islam.

“Intinya… aku menemukan arti hidup dalam Islam.”

“Dulu kamu juga Islam.”

“Ya, tapi seperti yang kukatakan tadi Shin.. aku tak pernah tahu tentang Islam, I m not pray, no fasting, I can’t read the holly qur’an..”

Shin terdiam. Wajahnya memerah. Berbagai perasaan berkecamuk di hati Shin. Agama, satu kata yang tidak pernah terdengar dari mulut orang tuanya. Bahkan sampai saat ini Shin tak pernah tahu apa agamanya. Dulu dan selama di Jepang, kalau natal tiba, Shin ikut merayakan natal, demikian juga kalau perayaan – perayaan dewa – dewa, mengikuti berbagai acara keagamaan apa saja yang dirayakan orang sekitarnya. Ya, hanya sekedar untuk have fun aja.

“ Shin, maafkan aku, bukan maksudku untuk bohong, aku sudah coba tulis surat kepadamu, sampai berkali – kali malah.. aku berusaha menjelaskan semuanya, karena aku tak ingin di antara kita ada rahasia”.

“But, this is the secret, Ndra. Big secret! You lie to me!.”

“Kan aku sudah pernah cerita di suratku kalau..”.

“Surat?”. Potong Shin cepat. Sekarang gantian wajah Shin mengkerut bingung.

“Ya. Dalam bebrapa surat yang aku kirim”.

Kening Shin berkerut. Indra menceritakannya dalam setiap suratnya? Seingatnya, Indra hanya berkirim surat dua kali untuknya, dan itupun hanya berisi kenangan – kenangan mereka saja. Tak ada yang lain. Shin mencoba  mengingat – ingat beberapa surat yang memang sempat mampir ke rumahnya

“Ya, setiap bulan aku selalu mengirimkan surat untukmu.”

“Tapi aku tak pernah menerimanya Ndra, hanya dua kali.” Wajah Shin terlihat bingung, demikian juga Indra. Rasanya Indra mengerti sekarang mengapa Shin cukup terkejut.

“Kenapa kamu nggak telphon? Call my home or my office?”

“Karena aku yakin kamu selalu menerima surat itu.”

Shin termenung.

“Itu artinya kamu juga akan ninggalin aku juga Ndra? Seperti Reina, Ndra?”

“Nggak, Shin…kita akan tetap sahabat sampai kapan pun….”.

“Tetap sahabat ?? kamu tahu Ndra, kalimat yang sama diucapkan Reina beberapa tahun lalu…” huh! Semuanya sama saja!, pikir Shin. Indra tahu sahabatnya itu masih salah paham tentang Reina. Mungkin ini saatnya meluruskan pikirannya, tekad Indra dalam hati.

“Shin…   itu beda Shin, dalam Islam pergaulan wanita dan laki – laki sudah diatur. Coba aja kamu pikir berapa banyak waktu yang kamu buang Cuma untuk mikirin dia, lupa makan, lupa minum, lupa belajar.. jadi wajar Reina sedikit menjaga jarak sama kamu, hm bukan kamu aja sih, semua cowok malah. Nah.. kalo aku kan cowok, kenapa aku harus menjauhimu?. ” Indra berusaha meyakinkan Shin. Shin sedikit tertunduk.

I don’t understand.”

“About?”

“Women.”

“Masih soal jilbab itu?”

“Ya.”

“Shin, Jilbab adalah suatu lambang  penghormatan Islam terhadap wanita.”

“Aku rasa itu hanya akan mengekang kebebasan.”

“Justru itu adalah lambang kebebasan. Bebas dari segala penilaian fisik, kebebasan dalam fashion juga, kebebasan dalam menunjukkan idealisme dan jati diri mereka, juga membebaskan mereka dari kejahatan dunia.”

Example?”

“Contohnya.. hm, coba aja kamu baca newspaper – newspaper yang di jalanan itu, atau lihat acara-acara kriminal televisi, berapa banyak perkosaan yang terjadi. Dan kamu tahu apa yang kebanyakan yang dikatakan para pelaku tentang penyebabnya?”

Shin menggeleng.

“Ya, mungkin lebih dari lima puluh persen mengatakan bahwa mereka melakukan itu karena tergoda oleh aurat wanita itu! karena itulah Islam mewajibkan wanita menutup aurat. Buakn untuk menghinakan mereka, melainkan menaikkan derajat mereka, melindungi, dan memuliakan mereka.”

Shin mengangguk kecil. Mudah- mudahan Shin sudah mulai memahami sikap Reina waktu itu, doa Indra dalam hati.

“Tapi, aku juga pernah dengar. Wanita harus patuh pada suami mereka, sedangkan their husband? No. bukankah itu tidak adil?”

“Adil bukan berarti harus sama, tapi adil artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya. Istri memang harus patuh pada suami, selama masih tidak menyimpang dari agama, dan laki – laki tidak. Tapi, ingat! Laki – laki juga harus patuh pada ibunya tiga kali lipat dari ayahnya, bukankah ibu adalah juga wanita?”

“Lalu.. soal warisan?”

“Setengah bagian dari laki-laki?”

“Ya.”

“Itu adil.”

“Adil?”

“Ya, adil artinya tak harus sama dan merata bukan? Tapi, adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Wanita memang hanya mendapat setengah dari bagian laki-laki.. tapi, yang harus diingat adalah setengah itu utuh menjadi milik si wanita, sedangkan kita, si laki-laki.. kita punya kewajiban untuk menafkahi dan membagi harta itu dengan keluarga kita, tidak demikian halnya dengan wanita. Disitulah letak keadilannya.”

Tapi beberapa detik kemudian wajah Shin kembali menatap Indra dengan tatapan serius. Wajahnya muram. Indra jadi khawatir, apakah Shin masih marah?

“Kamu masih marah, Shin?” tanya Indra.

Kangae-goto shiteta.” Mata Shin menerawang.

“Nani kangaeten-no?”

“About the god. Sejak dulu aku juga tahu alam yang luas ini, semua isinya dan kehidupan yang berlangsung di dalamnya, semua pasti ada yang menciptakan, ada yang mengatur. Tapi siapa? Aku tak pernah berpikir tentang itu.”

“Lalu sekarang?”

Shin termenung, “ Karena semalam ibumu menyinggung itu.. Aku  jadi bingung dan terus berpikir, siapa Dia? Dewa – dewa itukah? Yesuskah? Sang budhakah? Atau Siapa? Lalu sekarang Allah? Siapa Dia?.”

“Allah. Dialah tuhan yang satu, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidak menyerupai ciptaannya, tidak tidur dan kekal. Dialah Tuhan yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang.”

“Diakah Tuhan dalam Islam?”

Indra menggaguk.

“Allah adalah tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang, Allah yang satu, tidak beranak dan tidak diperanakkan, juga tidak menyerupai makhluk ciptaan-Nya.”

Shin kembali terdiam mematung. Satu menit, dua menit, lima menit berlalu dalam kebisuan. Indra jadi was – was.

“Sekali lagi aku minta maaf, aku nggak ngasih tau kamu lewat telpon kemarin.”

“Bukan itu.”

“Lalu?”

“Aku marah, kenapa kamu nggak nelpon aku lebih awal, sejak saat itu. dulu, waktu kamu suka bola, kamu ajak aku, masukin aku ke tim biar aku juga ngerasain gimana enaknya main bola. Sekarang? Kenapa kamu juga tidak menjelaskan kepadaku?”

“Karena aku takut, aku takut kehilangan sahabat baikku.”

“Tapi, kamu kan belum mencoba? kamu belum tahu aku akan menerima keyakinan itu atau kan menolak?”

“Jadi kamu tidak keberatan untuk.. untuk mempelajari juga?”

Shin mengangguk.

“Dengan satu syarat.”

“Nani?”

“Jangan memaksa kalau ternyata aku tak bisa menerima agama itu.”

“Sure, tak ada pemaksaan dalam beragama.”

“Really?”

“Really.”

Indra langsung memeluk Shin. Setiap Shalat, dalam do’anya Indra selalu berharap hidayah itu juga akan datang kepada Shin. Dan sekarang? Ya Allah! Jadikanlah ini jalan untuk mencapai hidayah-Mu, ya Allah…

Shin membalas pelukan itu dengan hangat. Sedikit kelegaan dan kebahagiaan terpancar di wajah mereka. Tapi, hanya beberapa saat. Pelukan itu segera terlepas begitu  sebuah suara lantang mengejutkan mereka.

“NO!, No! U can’t do that!.”

Suara keras dari belakangnya membuat Indra dan Shin tersentak kaget dan menoleh serentak.

Mayuko, ibu Shin, berdiri tak jauh dari tempat mereka berdiri. Ia mengenakan pakaian warna biru muda senada dengan rok dan tas tangannya. Mantel hitam panjang tersampir di tangan. Matanya yang biasanya bening berubah merah menahan amarah. Rani, dan bu Nur, ibu Indra, yang ikut mengantar ke tempat itu terlihat menahan napas di belakangnya. Jantung Shin dan Indra berdegup kencang. Dari kejauhan awan berarak menuju kota Jakarta, pertanda mendung akan menyelimuti ibukota itu.

………….