RB bagian 9

Rumah sakit Cipto, beberapa jam setelah kecelakaan Pram..

Dinda masih terpaku menatap wajah  ayahnya yang dibalut perban yang masih menyisakan bercak merah darah yang terbaring beberapa meter di depannya. Tangan Gadis itu menggenggam seikat bunga yang bertuliskan namanya. Mulut gadis itu tak henti – hentinya berbicara, walaupun sosok yang diajaknya bicara tak juga menjawab.

“Ayah, makasih bunganya. Dinda baru tahu kalau ayah sebenarnya sayang banget sama Dinda.. maafin Dinda yah, harusnya Dinda bisa jagain Ayah. Dinda tau, Ayah juga kesepian, sama seperti Dinda setelah bunda pergi ninggalin kita.. yah, ayah harus tau, Dinda sayang sama ayah, Dinda nggak mau ayah ninggalin Dinda, ayah harus berusaha untuk hidup, sama kayak Dinda! Ayah nggak boleh ninggalin Dinda, Nggak boleh..” Ucap Dinda serak. Air mata membanjiri matanya yang tampak membengkak karena menangis semalaman.

Tangannya menggenggam tangan dingin lelaki yang dicintainya yang terbaring lemah itu. Airmata mengalir deras di sela – sela suara seraknya yang semakin habis. Dua hari sudah ayahnya terbaring, tanpa menunjukkan perubahan apa – apa. Seandainya bisa, sungguh ingin rasanya Dinda menggantikan tubuh itu berbaring di sana itu..

“Maaf, non Dinda..”

“Ya, mbok?”

“Anu.. ada .. ada temannya di luar, mbok suruh masuk atau tunggu aja?” suara mbok Yana membuat Dinda menoleh. Gadis itu mengusap airmatanya, “ Siapa mbok? Kalau Cuma satu atau dua orang, suruh masuk aja, Mbok.” jawab Dinda. Mbok Yana mengangkat bahu, lalu kembali keluar.

Teman. Siapa yang masih mengakuinya sebagai teman setelah semua ini terjadi? Apakah itu  Anggi Cs yang kembali setelah pergi meninggalkannya begitu saja sejak saat itu? Ataukah Fery, yang langsung berubah drastis setelah semua yang dialaminya?

Ah, Fery.. perih sekali rasanya hati Dinda ketika mengingat nama itu. Dulu, sebelum semua ini terjadi sosok Fery adalah teman terbaik di mata Dinda.  Fery yang selalu menyanjungnya dan dapat membuatnya  melupakan segala resah. Memang seharusnya Dinda tidak berprasangka, tapi bukankah kenyataan bahwa Fery memang menghilang dari kehidupannya sejak berita tentang dirinya yang mengidap tebece menyebar di sekolah itu?

“Assalamualaikum..” Dinda reflek menoleh ke asal suara di belakangnya. Sosok tegap Ryan berdiri di sana. Di sampingnya berdiri seorang gadis manis berkerudung rapi, usianya kira – kira tiga belas atau  empat belas tahun, tiga atau empat tahun lebih muda dari cowok itu.

“Eh, wa’alaikum salam. Kamu.. Kok kamu tau aku ada di sini? Dan dia?” Tanya Dinda sejenak mengalihkan perhatian dari ayahnya yang terbaring. Matanya beralih ke sosok di samping Ryan.

“Eh, nggak, tadi aku ke rumah kamu, karena sudah tiga hari ini aku nyari kamu di sekolah, tapi kamunya nggak masuk terus, trus kata bu Sami yang jaga, katanya ayah kamu lagi dirawat. Oh ya, ini Zahra  adikku.”

Sosok yang disebut Zahra segera mengulurkan tangan, Dinda menyambut uluran tangan itu. Mata mereka berpandangan sejenak. Sesaat Dinda merasa ada sesuatu yang lain pada gadis itu, namun entah apa.

“Gimana keadaan ayah kamu?” Ryan kembali mengagetkan Dinda.

“Ya, seperti yang kamu  lihat Yan, ayah masih koma. Aku selalu bicara sama ayah, tapi ayahku tetap nggak ngejawab.”

“Kamu sabar aja ya? Mungkin emang ini ujian buat kamu” ucap Ryan.

Dinda mengangguk. Ya, Dinda juga berharap hal yang sama dengan Ryan dan berdoa semua ini akan segera berlalu dari hidupnya. Bukankah selalu ada ungkapan yang mengatakan bahwa badai pasti akan berlalu ?

“Oh ya, Aku beliin makan ya, kamu ngobrol aja sama adikku ya,  sekalian buat mbok yang di depan. Ra, temenin kak Dinda ya!” ujar Ryan.

Zahra mengangguk. Dinda memandang mereka dengan penuh terima kasih, “Makasih Yan, Zahra. Oh ya,  Ryan, kamu nggak mau lihat keadaan ayahku dulu?” tanya Dinda dengan nada yang seriang mungkin dan senyum terpaksa.

“O, i.. iya, nanti aja. Setelah beli makan buat kamu.” Ryan gelagapan dan berusaha menutupi rasa gugupnya dengan membalas senyum sebelum ia meninggalkan Dinda. Zahra menatap kepergian kakaknya dengan bingung.

Di sampingnya, Dinda menatap bayangan Ryan yang semakin menjauh dan menghilang di balik tikungan kolidor rumah sakit. ”Ya Allah, kuatkan hatiku menjalani semua ini, jangan biarkan Ayah meninggalkanku saat ini, berilah kekuatan padanya untuk bisa melewati deritanya dan.. Bunda, ya Allah.. Dinda kangen baget sama bunda.” Dinda bergumam dalam hati.

Selanjutnya Dinda larut dalam percakapannya dengan Zahra. Gadis itu, walaupun lebih muda dari pada Dinda, tapi ternyata enak diajak ngobrol dan dewasa. Sedikit banyak Dinda merasakan beban di pundaknya sedikit lebih ringan.

……….…………..

Hari ketiga setelah kecelakaan…

Sosok itu  menatap Pram yang terbaring tak berdaya di depannya dengan perasaan tak menentu. Kesal, sedih, kasihan, dan marah bercampur jadi satu di ekspresinya yang kaku. Sebuah photo lama tergenggam di tangannya yang mengepal keras.

“Pram.. atau harus aku panggil papa? papa tiriku, apa kabar? Apa? Kamu nggak kenal  aku? Oh, ya! Pantas saja, karena kita ketemu udah lamaaa.. banget!. Aku siapa? Aku anakmu! Anak yang terus menunggumu datang sejak empat belas tahu yang lalu.. ibu? Papa pasti ingin bertanya tentang ibu dan adikku kan? Ibuku masih menunggumu, pa, sampai saat ini..!” sosok itu berhenti sejenak, lalu menyapukan pandangan ke sekitarnya, takut ada yang mendengar kata – katanya.

Sementara itu, sosok yang ditatapnya masih tak bergerak. Ia melanjutkan bicaranya, “Ibuku menunggu siang dan malam, bekerja membanting tulang demi kehidupan kami.  Ibuku menuggumu! Aku memang kesal padamu, aku sempat benci, aku sempat ingin kau lenyap saja dari dunia ini. tapi, sekarang tidak, pa! Aku ingin kau sadar, sadar! Hadapi aku!” Sosok itu tergugu menahan isak dan luapan emosinya yang tertahan, “Ya, aku tak tahu alasannya, tapi yang aku tahu, aku tidak menjalani hidup seperti anak lainnya, seperti Dinda misalnya. Hidupku penuh kepahitan, pa, karena itu aku .. aku rasanya tak ingin Dinda.. ”

Sosok itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dari kejauhan terdengar langkah – langkah yang semakin mendekat. Sosok itu segera bangkit dengan terburu – buru, namun berusaha agar tampak wajar. Ia melangkah perlahan menuju pintu. Seorang suster yang berpapasan dengannya di depan pintu tersenyum padanya. Ia membalas senyum itu dengan penuh arti.

Minggu ketiga setelah kecelakaan Pram..

Dinda termagu sendirian di depan kolidor rumah sakit yang dipenuhi semerbak bau obat. Di tangannya tergenggam sebuah buku mungil, buku tabungan. Mobil,  surat – surat berharga yang ditinggalkan Ayah untuknya, satu persatu melayang sudah untuk biaya rumah sakit yang tidak sedikit itu. Perusahaan ayahnya tak banyak dapat membantu, karena kondisinyapun sedang sulit. Hanya beberapa kali waktu itu mereka datang menjenguk. Sekarang, tabungan..  Dinda menatap saldo di buku tabungan yang ada di tangannya yang semakin menipis dengan desah napas panjang. Ayah, tolong Dinda ayah..!

“DOR!!”

Hah!! Dinda tersentak kaget. Di depannya Zahra berdiri cengengesan melihat kekagetan gadis itu. Dinda langsung menekuk mukanya jadi delapan, cemberut.

“Assalamu’alaikum. Kakak kok bengong aja? Gimana keadaan oom sekarang?”

“Wa’alaikum salam. Masih sama, belum sadar. Kamu sendirian? Kamu bawa apaan?” Tanya Dinda begitu melihat tangan kanan gadis kecil itu menjinjing sebuah plastik putih.

Zahra tersenyum, lalu mengangsurkan plastik itu kepada Dinda, ”Ada titipan makanan buat kak Dinda, nih!”

Dinda menerima bungkusan itu dengan senyum mengembang. Laper!! Tangan gadis itu langsung membuka kardus nasi itu dengan hati – hati. “Makasih ya, Enak nih kayaknya.. kamu yang masak?”

Senyum Zahra terlihat pudar seketika, Dinda jadi bingung, “Ada apa? Aku salah ngomong ya?” tanya Dinda hati – hati, takut ada yang salah dengan ucapannya.

Zahra menggeleng, memandang Dinda sesaat, lalu “Nggak, iya, itu dari ibuku. Dia yang yang masak buat kamu, aku belum ahli masak..” sahutnya dengan malu – malu.

“Ce ilee.. gitu aja sedih, ntar juga lama – lama kamu pasti bisa. Aku juga belum bisa masak. Ini buat aku?”

“Iya, buat kakak.”

“Emangnya ibu kamu kenal sama aku?”

“Ya, nggak sih, Cuma Kak Ryan yang cerita.”

“Ryan yang cerita?”

“Yup!”

“Kamu tinggal sama siapa aja? Ayah? Adik?”

“Nggak, Cuma sama ibu sama kak Ryan aja kok, aku udah nggak punya ayah dan nggak punya adik.”

Dinda tercenung. Pikirannya berusaha menangkap hikmah yang bisa diambilnya dari perkataan Zahra. Benarkah? Nasib mereka sama. Dinda punya bunda, dan Ryan dan Zahra punya ibu. Selama ini Dinda selalu berpikir betapa malangnya hidupnya tanpa bunda, tapi ternyata masih ada juga yang bernasib malang seperti dirinya? Bukankah seharusnya juga bersyukur masih memiliki Ayah yang tinggal serumah dengannya, meskipun seringkali tak peduli padanya? Dan si Mbok yang perhatian sebagai pengganti bunda? Jadi itukah sebabnya Ryan begitu benci dan kesal sekali mendengar perkataannya waktu malam itu?

“Mungkin kita emang senasib kak, Jodoh kali! He..he..”

Dinda langsung cemberut. “Yeee! ngasal! Ogah ah!”

“Lho, kok?”

“Ogah, emangnya lesbong?”

“Yee, emang jodoh dalam hal nikah aja, cocok temenan juga namanya berjodoh.”

“Ehem!”

Deheman dari belakang mereka membuat keduanya menoleh,“ Udah akrab nih kayaknya.” sapa Ryan.

“Yeee! datang – datang bukannya ucap salam, malah ehem – ehem..” Zahra buru – buru menimpali.

Ryan jadi malu, “Iya, assalamu’alaikum..” ucapnya.

“Wa’alaikumussalam.” koor keduanya.”

“Eh, Yan, Tapi kok kamu tahu bundaku udah meninggal? Aku kan nggak pernah cerita?” Selidik Dinda.

“Ada aja!” hm, lagi – lagi nih anak.

“Huuu..!  sok detektifnya kumat deh!” sambung Zahra.

“Jangan – jangan kamu CIA ya? Atau FBI,  yang dikasih kerjaan buat mata – matain aku?”

“Yee.. kurang kerjaan amat tuh agen! Emangnya kamu sepenting apa? Putri presiden aja nggak gitu – gitu amat! Ya pokoknya ada deh! mau tau aja!”

Hm… JTAK! Buku kecil yang tadi di tangan Dinda langsung melayang ke kepala cowok itu, membuat cowok itu mengaduh.

“Syukur!! Nih tambah lagi!” Zahra ikut menimpali, sebuah bantal sofa sekarang ada di tangannya, siap melayang.

Ryan buru – buru menghidar dari serangan kedua gadis itu. Namun, jauh di hatinya, Ryan merasa senang bisa membuat Dinda kembali tersenyum, meski ada sesuatu yang tersimpan di balik senyumnya itu. Sejenak semua beban yang tadi ada di kepalanya terlupakan oleh Dinda.

…………………

Bulan kedua setelah kecelakaan Pram…

“Jadi, ayah saya nggak bisa terus dirawat di sini kalau saya nggak bisa bayar biaya sebesar ini dokter? Mengapa sebesar ini dokter?”. Tanya Dinda meyakinkan pendengarannya atas penjelasan dokter yang begitu panjang tadi. Mata gadis itu tak lepas dari sebuah kertas yang bertuliskan nominal yang siapapun pasti akan terbelalak melihatnya.

“Jadi memang begitulah..”

“Tapi kenapa,  dokter?”

“Yah, nona, saya rasa nona tahu dan sudah cukup besar dan dewasa untuk mengerti hal – hal seperti ini, perawatan ayah nona itu bukan perawatan biasa, tapi koma! Anda juga pasti pernah dengar kan? dan dana yang nona bayarkan beberapa waktu yang lalu sudah tidak mencukupi untuk biaya perawatan selanjutnya. Pihak rumah sakit sebenarnya sudah berusaha membantu, tapi bantuan yang bisa kami berikan juga terbatas, karena banyak pasien lain yang juga membutuhkan bantuan. Saya rasa anda mengerti, nona.” Dokter Hans mengakhiri pembicaraannya.

“Tapi, bukannya biasanya di setiap rumah sakit ada keringanan untuk orang yang nggak mampu, dok?”

“Ya, mungkin nanti nona bisa tanya di bagian administrasi. Yah, biasanya ada beberapa syarat yang harus dilengkapi dulu.”

“Ya, makasih dokter. Mungkin saya akan coba ke sana.”

Dinda tertunduk sedih. Lalu pamit keluar ruangan.

Dinda bukan hanya mengerti dengan ucapan dokter Hans, tapi juga paham betul apa artinya. Tapi bagaimana mungkin ia bisa mendapatkan uang sebesar puluhan juta itu untuk kelanjutan biaya rumah sakit ayahnya?. Perusahaan tempat ayahnya bekerja tak lagi bisa memberikan dana cash, perhiasan terakhir peninggalan bunda sudah terjual kemarin siang, sementara untuk mencari pekerjaan tanpa ijazah SMU yang seharusnya diperolehnya beberapa bulan lagi? pekerjaan apa yang bisa didapatkan gadis kecil sepertinya di tengah panasnya persaingan ibukota saat ini? Paling berapa sih gaji pegawai lulusan SMU apalagi yang nggak lulus?

Hufh! SMU. Dinda jadi teringat sekolahnya yang terbengkalai dan tentang teman – temannya. Sungguh menyenangkan saat – saat dulu. Tidak seperti sekarang yang sejak peristiwa itu, tak seorangpun dari Anggi, Mia, Selly ataupun Desi yang datang menjenguknya ke rumah sakit ini. jadi bagaimana mungkin ia bisa meminta bantuan? Sedangkan meminta bantuan kepada guru – guru yang sempat beberapa kali datang menjenguk jelas rasanya nggak mungkin, Dinda tahu pasti kondisi ekonomi dan keluarga mereka yang juga pas-pasan karena gaji guru yang kecil. Sementara minta tolong Ryan? Jelas lebih nggak mungkin lagi, karena Dinda tahu Ryan juga harus membantu biaya sekolah Zahra dan bibinya  menghidupi dua adik sepupunya yang juga masih sekolah dan kecil – kecil. lalu? Huh! Dahi Dinda semakin mengernyit. Hm, apa ya yang bisa ia lakukan sekarang?

“Din, kamu kenapa?”. teguran Ryan yang baru tiba entah dari mana mengagetkan Dinda.

“Eh, nggak apa – apa. Zahra mana?” Jawab Dinda berbohong.

“Mungkin bentar lagi datang, tadi dia ada les dulu, dia kan udah mau ujian kenaikan kelas.”

“Ow..” mulut Dinda mengerucut.

“Hm.. gitu. oh ya, Ini ada surat dari sekolah kamu, tadi nggak sengaja aku lewat rumah kamu, trus mampir dan mbok Yana ngasih ini.. katanya kamu diperbolehkan ikut ujian akhir, nanti bulan Juni, jadi kamu siapin aja mulai sekarang.”

“Bener, Yan? Aku bisa ujian? Bisa lulus?” Dinda menatap Ryan tak percaya. Ryan mengangguk, ”Bisa ujian, kalo lulus mah tergantung kamu”

Dinda memplototi Ryan dengan jengkel. Ryan langsung salah tingkah.

Sejak kejadian itu Dinda memang sudah tak pernah  memikirkan akan  masuk sekolah lagi, apalagi yang namanya mengikuti ujian. Bukannya tak ingin, tapi dalam situasi seperti ini?

“Trus, bungkusan itu?” Dinda melirik bungkusan yang dijinjing Ryan.

“Ini ada titipan dari rumah, mbok Yana udah cerita sama aku soal penyakit kamu, trus Mbok Yana nitip ini ke aku, katanya ini ramuan tradisional untuk mengobati tebece, campuran dari bunga tembelekan, akar alang – alang, kencur, gula batu rebus, sama air yang disaring.” jelas Ryan panjang lebar.

“Buat apa?” Dinda bingung.

“Ya buat kamu minum tiap hari.”

“Kamu kan tahu aku paling benci minum jamu? Pahit! ”

“Mau aku suruh Zahra maksa kamu minum?”

Dinda menggeleng dengan cepat. Ryan ketawa melihat ekspresi Dinda yang langsung seperti orang mau muntah, “ Bodo! Kata simbok ini bisa buat nyembuhin tebece, tapi kamu harus minum rutin dua kali sehari, trus katanya ini untuk selanjutnya kamu harus ambil sendiri tiap pagi ke rumah, jelas?”

Dinda mengkerut. Huh.. udah maksa, pahit, pake ngambil sendiri lagi! maunya diambilin! He.. he.. Dinda nyengir.

Tapi sesaat kemudian Dinda kembali terdiam.

Rumah? Oh! Ya.. mengapa tak pernah terpikirkan olehnya selama ini? ia masih memiliki rumah! Tapi, kalau rumah itu ia jual atau sewakan?, bagaimana cara menjelaskan semua ini kepada Ayah nanti? lalu ia akan tinggal dimana? tapi, bukankah yang penting ayah bisa sembuh? Bukankah ia bisa mencari kontrakan kecil dulu, sambil mencari kerja? Apapun akan dikorbankannya untuk ayah! ya, apapun! Termasuk jatah berobatnya yang habis akhir bulan ini.. (Eit, diam – diam ya! ini nggak boleh ketahuan Ryan, lho!)

“Makasih Yan!, tolong jaga Ayahku sebentar ya..! bentar lagi aku balik kok, ok? Nggak pake lama kok, paling cuma beberapa jam. Kalau Zahra datang, suruh nunggu aja, ok?” Dinda mengatupkan kedua tangan di dadanya.

Lalu gadis itu langsung berlari, setelah mengambil dompetnya di laci lemari bangsal tempat ayahnya dirawat, tanpa mempedulikan Ryan yang masih bingung menatap bungkusan dan surat  yang masih digenggamnya. Bingung.  Makasih? For what? (kan titipannye belom aye kasihin, non!) .

….…………bersambung ke rb 10………

RB bagian 4

Menjelang Puncak acara Pemilihan Siswa Teladan…

Satu per satu mobil mulai memadati halaman parkir SMU Teladan dengan teratur, sehingga dalam waktu setengah jam saja mobil – mobil itu sudah tersusun rapi memenuhi lapangan yang tak begitu luas. Para orang tua murid mulai memasuki gedung aula serbaguna, layaknya orang – orang yang akan menyaksikan sebuah pertunjukan besar. Sedangkan para anak mereka sibuk hilir mudik mencari teman  masing – masing atau menunggu orang tua mereka yang masih belum datang, seperti halnya Dinda yang sedang mondar – mandir di depan lapangan parkir sekolah! (bukan jadi tukang parkir lho..! he..he..).

Gadis itu tampak gelisah. Sesekali tangannya melirik handpon mungil yang digenggamnya. Sesekali mulutnya bergumam tak jelas. Barangkali gadis itu bilang, “Kemana sih ayah? Bukankah ayah udah janji akan datang ke acaranya Dinda? Kok, malah belum datang? padahal acara sudah akan dimulai.. “

RRRrrRRR! RRrrrrRr!!

Akhirnya ponsel di tangannya bergetar juga. “Ayah”, tulisan yang tertera di layar.  Dinda langsung mengangkatnya dengan tergesa-gesa.

“Ya, Ayah di mana sih? Acaranya udah mau mulai nih! Cepetaaan!”

“Maafkan ayah Din, ayah nggak bisa ke sana, ada pertemuan penting yang mendadak yang nggak bisa ayah batalkan. Kamu nggak apa – apa kan sendiri di sana? Nanti kalau..”

Click!. Tut. tut. Tut!

Tanpa menunggu kelanjutan kalimat selanjutnya, Dinda mematikan ponselnya dan memasukkan benda mungil itu kembali ke sakunya dengan wajah berlipat empat, lalu bergegas kembali ke dalam aula. Kesal! “Selalu… begitu! Kenapa sih ayah nggak pernah mikirin perasaan Dinda? Sekaliiii.. aja deh dia ngeluangin waktunya untuk hadir ke acara Dinda, sekaliiiii.. aja! Ayah egois!” Omel Dinda dalam hati. Kesal!

Sementara Itu, di sudut lain..

Ryan akhirnya memilih untuk menunggu tak jauh dari tempat Dinda berdiri. Tanpa disadari gadis itu, sepasang matanya memandang tajam ke tempat di mana Dinda berdiri, seakan – akan sedang mengawasi gerak – gerik gadis itu. Sinar matanya menyiratkan kalau ia sedang menunggu sesuatu yang akan terjadi. Satu menit, dua menit, lima menit… tak ada yang terjadi. Raut kecewa terpancar dari mukanya ketika gadis itu berbalik kembali ke dalam aula. Ia pun lalu menuju gerbang sekolah, “Masih ada kesempatan lain.” desisnya pelan.

…..……………….

Semua mata tertuju pada pertunjukan siswa yang sedang berlangsung. Tapi, tidak dengan Dinda. Ia mengikuti jalannya pertunjukan demi pertunjukan dengan gelisah dan tak berselera. Matanya menerawang tak menentu, pikirannya mengembara entah kemana. Sesekali ia melirik deretan wali murid yang berjejer di barisan kursi paling depan. Sekali lagi ia menarik napas kesal, sampai..

“Baiklah para hadirin, untuk pemenang siswa teladan SMU kita kali ini jatuh kepada Adinda Putri Maharani, dari kelas tiga IPA 2..!! untuk pemenang dan orang tuanya dipersilahkan untuk menerima penghargaan dan memberikan sepatah dua patah kata sambutan”.

Plok! Plok! Plok!. Riuh tepuk tangan membahana  menyambut akhir Pengumuman yang disampaikan pak Teguh, kepala sekolah SMU teladan, sekolah Dinda. Wajah para finalis yang tadinya terlihat tegang, kini memancarkan kekecewaan. Tak terkecuali Selvy, yang walaupun akhirnya diumumkan menduduki runner up. Matanya yang agak kecoklatan memandang Dinda dengan tatapan sinis, penuh rasa iri dan kesal.

Dinda gelagapan. Anggi Cs segera beramai – ramai memeluk Dinda yang masih bengong, tak percaya dengan pendengarannya. Gadis itu hampir saja hilang dari peredaran eh, maksudnya dikerumuni orang – orang, kalau seandainya saja tak ada panggilan dari atas panggung aula yang kembali memintanya untuk maju ke depan untuk menerima penghargaan.

Dinda melangkah sendirian ke atas panggung di tengah kasak – kusuk penonton yang semakin ramai dengan perasaan bercampur aduk. Perasaan senang dan sedih meliputi. Tangannya bergetar ketika menerima hadiah dan mikrofon yang diangsurkan panitia kepadanya. Pikirannya langsung melayang dan hatinya berbisik dengan sedih, Ayah! Lihatlah Dinda ayah.. Ini semua untuk ayah! Seandainya saja ayah ada di sini..

“Assalamu‘alaikum warahmatullahi wabarokatuh. Pertama, syukur kepada Allah, lalu Makasih atas kesempatan yang para guru, juri, dan teman – teman berikan kepada saya untuk menerima penghargaan ini..” Dinda mengangkat tropi itu ke atas. Ia berusaha tersenyum, walau terasa getir.

Dinda terdiam sesaat. Para hadirin juga ikut diam menanti kat selanjutnya yang akan keluar dari mulut gadis itu.

“Saya juga mohon maaf, karena sesuai dengan apa yang disampaikan kepala sekolah tadi, seharusnya yang ikut naik ke panggung ini adalah saya dan keluarga saya. Tapi, karena suatu hal, mereka tak bisa hadir di sini. Ibu saya sudah  tiada sejak saya kecil dan ayah saya tidak bisa hadir saat ini, but thank’s for them! ” Dinda mengacungkan tropinya sekali lagi, “Dan untuk para orang tua yang bisa hadir di sini, saya bangga Pak, bu, kebahagian karena menerima penghargaan ini tidak akan sebanding dengan kebahagian karena kehadiran kalian di sini, saya yakin semua itu dirasakan oleh teman – teman saya yang di sini. Sekian dari saya. Terimakasih.” Dinda kehabisan kata – kata. Matanya terasa perih menahan agar air mata itu tak menetes. Seketika aula itu langsung diliputi suasana haru biru.

Dengan tertunduk gadis itu segera turun dari podium diiringi tepuk tangan yang semakin membahana sampai gadis itu kembali ke tempat duduknya. Ingin rasanya Dinda menangis, kalau seandainya saja teman – temannya tidak langsung menyalaminya dan mengucapkan selamat saat itu. Hatinya berbisik, kalau seandainya boleh memilih antara penghargaan dan kehadiran ayah saat ini, tentunya ia akan lebih memilih ayah ada di sini, meskipun tak menang. Tapi lagi – lagi hanya seandainya dan berandai – andai..

Sementara itu..

Di sudut ruangan, seorang wanita menyaksikan pemandangan yang mengharukan itu dengan tatapan penuh arti. Ia terlihat bingung dengan semua yang dikatakan gadis yang berdiri di depan itu. Hatinya berbisik, berusaha menampik apa yang sekarang ada di pikirannya. “Tidak, Tidak. Itu tak mungkin!”, desisnya pelan.

…………………….

Malam hari, di hari yang sama..

“Udah dulu ya Din, aku pulang dulu, nggak enak udah malem, makasih udah nemenin aku makan malam.” ucap Fery ketika mereka sudah sampai di depan rumah Dinda.

Ya, malam ini adalah malam yang dijanjikan Fery waktu itu, sekaligus ucapan selamat untuknya dari cowok itu.

“Makasih juga untuk makan malamnya.” balas Dinda.

Fery tersenyum. Lalu hening sesaat. Sampai..

“Hei!! Kok malah bengong sih? Dinda tinggal masuk nih, mau mampir dulu nggak?”tegur Dinda yang tahu – tahu sudah ada di jendela samping Fery. Fery gelagapan.

“Ngg, gimana ya? Tapi..” Fery ragu – ragu.

“Udahlah, yuk!” Tanpa menunggu persetujuan Fery, Dinda langsung meninggalkannya. Dengan geleng – geleng kepala akhirnya Fery mengikuti Dinda turun dan dengan ragu-ragu memasuki rumah itu.

Dinda mempersilahkan cowok itu duduk, “Mau minum apa?” tanyanya. Cowok itu menggeleng.

“Nggak usah repot, Din. Terserah kamu aja.”

“Dingin atau panas?”

“Nggg, dingin aja.”

Dinda lalu meninggalkan Fery menuju dapur dan bergegas membuatkan minuman dingin. Namun baru beberapa detik cowok itu duduk, tiba – tiba ia tampak terkejut ketika melihat sebuah figura  yang terpajang tak jauh dari sudut ruang tamu . Matanya menyipit, seperti memperhatikan sesuatu yang aneh dan menarik dari photo dalam figura itu.

Dinda yang sudah selesai membuatkan minuman dan kini tengah meletakkan gelas berisi sirup itu di depannya ikut bingung ketika menyaksikan Fery yang masih tak berkedip. Dinda heran, “Kenapa sih? Kok bengong? Ngeliatin photo itu?”

“Nggak, nggak apa-apa. Ini.. siapa?” tanya Fery ragu.

“Itu photo ayahku.”

“Ayah kamu?”

“Iya, kenapa?” jawab Dinda dengan nada heran dengan pertanyaan itu.

“Ngg, nggak. Oh ya, aku lupa tadi aku ninggalin kerjaan penting, kayaknya aku harus pulang sekarang deh Din, nggak apa – apa kan?”.

“Kerjaan?”

“Ya, tugas buat besok”

“Kok buru – buru amat?”

“Eng.. iya, soalnya bahannya banyak banget. Maaf ya Din, aku nggak bisa lama – lama. Nggak apa – apa kan?” Fery memasang wajah memelas.

Dinda cemberut, tapi akhirnya gadis semampai itu mengiyakan permintaan cowok itu, “Nggak apa- apa, tapi kamu minum habiskan dulu minumnya, ok?”

Fery menuruti kemauan gadis itu. ia langsung menghabiskan minumannya,  lalu buru – buru pamit. Dinda mengantarkan Fery sampai pintu.

“Ya udah, hati – hati ya!”

Fery mengangguk, “Iya, Bye!”

Dinda balas mengangguk. Fery berbalik meninggalkan Dinda juga melangkah masuk yang masih dengan senyum mengembangnya.

Sementara itu sesampainya di mobil, Fery ternyata tak langsung pergi. Ia hanya duduk di belakang kemudi. Matanya masih terus memperhatikan bayangan Dinda yang menjauh dan akhirnya hilang di balik daun pintu yang menutup. Pikirannya kembali melayang kepada figura yang terpajang di ruang tamu tadi.

Benar! Pasti ia tidak salah lihat. Pram, pasti laki – laki itu adalah Pram! Sosok lelaki yang selama ini paling dibencinya. Karena lelaki itulah ia harus kehilangan papa untuk selamanya! Ya, Fery tidak akan lupa wajah lelaki yang menangis meminta maaf kepada mama itu waktu. Tapi, ayah? Dinda memanggil lelaki itu dengan panggilan ayah? benarkah hubungan Pram dengan Dinda adalah ayah dan anak? Mengapa ia tak pernah tahu selama ini?  Mungkinkah…

Fery buru – buru mengeluarkan ponselnya dari kantong dan menekan sebuah nomor yang sepertinya sudah begitu hapal di kepalanya. Seseorang di seberang sana langsung menjawab telponnya.

“Halo, sialan lu ya!” maki Fery.

“Lu kenapa, kok tiba – tiba mencaci – maki gw?” tanya suara itu.

“Ya, kenapa lu nggak bilang ke gw kalo Dinda adalah anak Pram? Laki – laki itu?” sahutnya ketika seseorang di seberang sana sudah mengangkat telponnya.

“Oh, ckk, ckk. Sang pangeran rupanya sudah tahu identitas cinderellanya. Fery, Fery, Fery, justru lu harus makasih kan sama gw?”

“Makasih? Makasih buat apa?”

“Masa lu belum ngerti juga. Gw tahu lu cerdas Fer, tapi gw lebih cerdas. Gw tahu semua rencana yang  akan mempermudah pembalasan lu.  Gw nggak salah kan? Makanya lu harus bilang terima kasih sama gw  ya, Fery sayang? Ha ha ha! Click! Tut.. tut..!”  Tanpa menunggu pertanyaan lebih lanjut, suara di sebarang itu segera memutuskan telpon.

Fery bertambah kesal. Di bantingnya handpon mungil itu ke jok mobil dengan kesal. Dahinya mengernyit beberapa saat, memikirkan perkataan si penerima telpon tadi. Makasih? Apa maksudnya?

Tiba – tiba saja senyum manis cowok itu mengembang dan langsung berubah menjadi sebuah seringai. Seperti seringai seekor srigala yang menemukan santapan lezat yang terhidang di depannya. Thank’s!. hebat! Sebuah rencana seperti tergambar langsung dibenaknya. Rencana yang begitu sempurna! Sedetik kemudian, mobil keluaran terbaru itu meluncur menembus kegelapan dan menyisakan kesepian malam.

……bersambung ke RB bagian 5……………….

RB bagian 1

Jakarta,Petengahan Januari, 2005…

Mentari belum terlalu condong ke ufuk barat, menandakan  hari masih belum terlalu sore. Berbagai macam jenis dan merek mobil berderet dengan rapi di sepanjang jalan itu. Hiruk- pikuk bunyi klakson dari mobil-mobil yang pengemudinya tak sabaran ikut meramaikan kacaunya suasana di jalan itu. Diantaranya termasuk seorang gadis muda yang masih berusia belasan tahun.

Dinda, gadis itu  mengemudikan sedan silvernya dengan hati – hati dan perlahan, mengikuti arus kendaraan yang padat hingga luber ke bahu jalan. Seragam putih abu – abu masih membalut tubuhnya. Matanya menerawang jauh, seakan tak terpengaruh dengan kemacetan lalu lintas yang tak kunjung habis – habisnya itu. Ada pancaran resah dan galau di sana. Sesekali matanya melirik amplop coklat bertuliskan ‘laboratorium radiologi’ yang tergeletak di jok coklat empuk di sampingnya. Hatinya gundah.

“Mengapa aku harus menerima amplop coklat itu? Mengapa aku yang harus mengalami semua ini? aku tak pernah menginginkan ini ya, Tuhan.. kenapa tidak…” batin Dinda menjerit ingin melepaskan beban berat di kepalanya.

Rrrrr! Rrrrr!.

Dinda tersadar dan terlonjak ketika handphon mungil di sakunya bergetar. Sebuah nomor tak dikenal tertera di layarnya. Tangannya segera terulur untuk mengambil dan segera menekan tombol “yes” pada benda mungil itu.

“Halo, siapa nih?”sapa Dinda riang, berusaha membuat suaranya setenang mungkin.

“Din, ini gw, Anggi.” sahut suara dari seberang.

“Lu ganti nomer lagi, Nggi?”.

“Yo’i..”

Anggi adalah teman sekelas Dinda yang paling dekat dengannya, hobbinya emang gonta – ganti Handphone dan simcard. Maklum, Anggi  juga anak seorang pengusaha yang kaya raya yang sukses. Jadi, jangan heran kalau ada telpon, dan yang ngomong Anggi lagi dan Anggi lagi!

“Ya, kenapa non, tumben nelpon gw? Uhuk uhuk!” ucap Dinda sembari menutup mulutnya dengan sapu tangan. Duh! batuk lagi!

“Din, lu sakit ya? Kok batuk – batuk sih?,” Anggi curiga,“Tapi, kalo gitu mah lu istirahat aja, kita juga nggak maksa kok, Din.”cegah Anggi buru – buru. Dinda jadi tak enak hati mendengarnya.

“Nggak kok, Nggi..” Jawab Dinda.

“Bener?” Anggi ragu.

Dinda mengangguk, lalu “Suwer, gw nggak apa – apa, ada apa tadi?” Dinda mengalihkan pembicaraan.

“Sekarang lu di mana? Ntar jam tujuh gw sama anak – anak jemput lu ya, jangan telat lho!” Anggi mewanti – wanti.

“Jemput? “kening Dinda berkulit putih itu mengkerut, “Bentar lagi nyampe rumah, emang pada mo kemana sih? Emang ada acara apaan lagi Nggi malem ini?”.tanya Dinda bingung. Kening gadis itu mengkerut seperti berpikir.

Anggi ketawa, “ Ih, lu mah.. masak sih lupa? hari ini kan ulang tahunnya Fery?”

“Fery? Fery siapa?”. Dinda Heran.

Anggi tertawa lagi mendengar pertanyaan Dinda “Ih, Fery, itu lho, Din, mantan kapten basket dan ketua OSIS sekolah kita tiga tahun lalu.  Masak lu nggak tau sih?”

“Apa? Pengamen yang main basket pakai tangga, trus jatuh?” Dinda pura-pura tulalit. Anggi menghela napas kesal.

“Ih, lu kok tulalit ya sekarang?” Anggi sewot.

“Ih, enak aja! Swear, gw nggak tau!”

“Itu lho.. Fery.. Fery.. ih, nih anak!”

“Kemaren Dani, trus Gery, trus Tio, trus Andri, nah ini siapa lagi sih? heran deh sama lu pada! kok nggak ada habis-habisnya ya?”

“Udah deh, pokoknya keren abis deh Din! Dianya mau kenal sama lu, makanya, lu sih kabur mulu belakangan ini.”

So, what, Nggi?”

“So what – so What, sewot kalee..!! udah deh! jangan banyak tanya, jam tujuh teng! Ok?”

“Eh, iya deh! gw tunggu ya, bisa aja deh lu!” Dinda akhirnya meng-iyakan dengan ragu – ragu.

Anggi tersenyum mendengar jawaban Dinda. Ia bersorak dalam hati. Yes! Sukses!

“Ok Nggi, bye..”

Dinda menutup telpon dengan gusar. Dinda sebenarnya bukan sengaja menghilang dari peredaran alias melupakan  teman dengan tidak mengikuti acara – acara teman – temannya belakangan ini, tapi selama ini Dinda memang lagi nggak ada waktu! Sibuk? Memang sih, sibuk bolak – balik ke rumah sakit tanpa sepengetahuan Anggi and the gank!

Huh! Dinda jadi bingung. Hatinya jadi bimbang. Berbagai macam pertanyaan mulai mengusiknya. “Apa aku harus tetap pergi, sedangkan amplop coklat itu… tapi kalau aku nggak pergi, berarti… ah, sudahlah, pergi atau tidak itu urusan nanti. Sekarang yang penting adalah sampai di rumah secepatnya, capek!”

Sedan itu melaju lebih cepat menembus keramaian ibu kota Jakarta yang semakin panas dan penuh dengan polusi. Blas!

……………………

“Assalamu’alaikum!” ucap Dinda begitu memasuki rumah.

“Wa’alaikum salam! eh, non udah pulang?” jawab Mbok Yana, wanita setengah baya, yang ketika sedang membersihkan lemari es. Wanita itupun lalu bergegas menyambut majikannya.

“Udah mbok.” Jawab Dinda, lalu langsung menuju kamar dan langsung merebahkan tubuh setelah meneguk segelas air putih yang tergeletak di atas meja belajarnya.

Dinda menghela napas panjang. Selama beberapa minggu ini  kondisi tubuhnya memang menurun dan mudah sekali merasa capek atau terkadang tubuhnya agak demam dan berkeringat di malam hari, dan terkadang batuk kecil ikut menyelingi. Beberapa kali Anggi, Mia, Selly dan Desi mengajaknya untuk konsultasi ke dokter, tapi semua tak dihiraukan oleh Dinda. Pikirannya selalu optimis kalau batuk atau demam itu adalah hal biasa kalau menjelang pergantian musim. Toh, nanti juga sembuh dengan sendirinya, Dinda berkilah.

Itu dulu, dan sekarang? siapa yang tahu anggapan itu benar atau salah? Tiga minggu sejak saat itu, Dinda akhirnya  memberanikan diri untuk memeriksakan diri ke dokter. Dan siapa sangka jawaban Dokter dan hasil pemeriksaan mantaoux, hasil rontgen, serta hasil pemeriksaan dahak selama tiga hari tadi pagi itu telah mencabik hatinya. Dinda sungguh terkejut setengah mati!

Bagaimana tidak? TBC alias tubercolosis, sebuah penyakit yang disebabkan oleh mycobacterium tubercolosis yang tak pernah terlintas di kepalanya selama ini, bahkan seumur hidupnya sekalipun. Ya, karena biasanya yang ia tahu, hanya orang – orang yang hidup kekurangan yang banyak mengidap penyakit itu, tepatnya penyakit orang miskin! Mustahil, bagi ia yang hidup berkecukupan dan jauh dari kekurangan gizi! Ataupun kalau orang kaya, pastilah ia seorang perokok berat.

Pikiran Dinda mengembara mencari jawaban dari semua pertanyaan yang ada di kepalanya,” Ya Tuhan.. kenapa harus aku yang harus mengalami ini semua?  Apa salahku sehingga ia harus mendapat penyakit yang memang kelihatannya baik – baik saja itu tapi bisa membunuh secara perlahan itu? kenapa harus aku..? aku tak bersalah, Tuhan..” Dinda bertanya dalam hati. Dadanya terasa sesak menahan beban. Pusing!

Dinda mencoba mencari jawaban. Kata – kata dokter tadi masih terngiang di kepalanya.

“Saya terus terang juga heran mengapa kamu yang masih muda, berkecukupan, dan terlihat sehat bisa mengidap penyakit ini. Dugaan saya, pertama, kamu tertular dari orang lain. Kedua, kamu tinggal di sekitar para perokok. Ketiga, mungkin dari radang paru – paru yang sudah lama dan akhirnya berkembang menjadi tebe.”

Air mata mulai mengalir deras di pipinya. Pikirannya masih mencari sekeping salah yang membuatnya menerima hasil rontgen, tes dahak dan tes mantoux di amplop coklat itu.  Tapi apa? Apa yang membuatnya menderita seperti ini?

Dinda termenung. Dinda mencoba mengingat masa lalu. Selama ini kalau gaya hidup memang tak jauh berbeda dengan gaya hidup teman –  teman se-Ganknya yang memang rata –  rata orang berada yang suka  party, cafe, dan acara serupa lainnya, tapi Dinda berani memastikan bahwa sekalipun ia tak pernah  menyentuh benda yang namanya rokok atau apa saja lah namanya  yang bisa menyebabkan penyakit maut itu datang menghampirinya!

Dinda menangis. Mulutnya terus menggumam kata – kata dengan lirih, ”Mengapa harus aku yang memiliki keadaan seperti ini? Mengapa bukan teman – temanku para pecandu rokok yang tak punya perasaan ketika dengan cueknya merokok di tempat – tempat umum itu? yang tak pernah berpikir tentang perasaan orang – orang sekitarnya yang kadang merasa sesak napas karena asapnya itu? Mengapa bukan para perokok yang berkeliaran di sekitarku? Sekarang apa yang harus aku lakukan? Bagaimana kalau semua teman – teman  tahu soal ini? Apa semua akan menjauh? Bagaimana kalau mereka semua pergi meninggalkanku? Aku nggak mau hidup sendirian dengan penyakit ini, aku nggak mau sendirian, ya Allah..!” isak Dinda.

Pikiran – pikiran yang dipenuhi ketakutan dan kekesalan membuat kepala Dinda terasa semakin berputar. Kesal. Tapi siapa yang harus di salahkan? Tuhan? Tidak, itu tidak tepat. Sebuah amplop coklat masih tergeletak di sampingnya. Semua begitu berat, berat, dan berat. Lebih berat daripada menahan kelopak matanya yang tak kuasa ditahannya untuk tidak terpejam. Ia terlelap dengan berselimutkan sejuta pertanyaan.

…………bersambung ke RB bagian 2………..

RB-Tokoh Cerita

TOKOH CERITA

  • Dinda : Nama lengkap gadis ini sebenarnya adalah Adinda Putri Maharani. Do’I orangnya baik, pinter, sederhana, ga sombong, supel, baik, aktif and pokoknya Te O Pe banget deh!. Hobinya jalan – jalan, maklum anak tunggal ini ga punya kampung, alias jakarte aslee..! he.. he..). Kekurangannya, Doi mengidap TBC, penyakit pembunuh nomor dua di Indonesia!
  • Fery : cowok keren mantan kakak kelas Dinda yang jadi rebutan temen – temennya. Maklum, cowok dengan tinggi 180 cm / 55 kg yang berkulit putih ini orangnya cool banget, meski agak sedikit – sedikit gengsian and mudah terpengaruh alias nggak konsisten! Dan salah satu sikapnya yang agak berbahaya adalah doi tuh tipe orang yang pendendam! Tapi, cowok ini sempat tergila – gila pada Dinda lho!
  • Ryan&Zahra : Kakak beradik yang menjadi dewa penolong Dinda  yang akhirnya jadi orang yang paling setia menemani Dinda dalam menghadapi hari – hari sulitnya. Ryan orangnya biasa aja dan cukup kalem,sedangkan Zahra orangnya ramah dan mudah akrab. Pokoknya mereka itu baii..ik banget. Selain itu, Mereka hanya tinggal dengan ibunya. Ryan  orangnya mandiri and smart, makanya nggak heran kalo akhirnya dia diterima di teknik ITB, cool kan? Kekurangannya, ia selalu terbentur masalah ekonomi alias kurang mampu.
  • Dinda’s Friends ;

Group 1:

–        Anggi ; Cantik, modis, dan manja. Hobbinya suka gonta – ganti handpon dan simcard, hobbinya ngegosip. Sama seperti Fery, ia juga pendendam.

–        Mia ; cantik, baik, tapi kalu disuruh suka melempar tanggung jawab ke orang lain.

–        Selly ; cewek cantik dan imut ini tipe orang yang cepat kebakaran jenggot alias pemarahd dan cepat sewot.

–        Desi ; cewek imut berambut pendek. Sifatnya rada – rada lugu dan polos, tapi hati – hati lho, doi juga cabe rawit nih kalo ngomong!

Group 2 :

–          Nana&Agus ; teman satu kerja dengan Dinda. Keduanya sangat perhatian dan super baik sama Dinda. Cuma, Agus orangnya rada-rada bencis! Sedangkan Nana orangnya suka malu – malu kucing gitu deh!

  • Selvy and The Gank : Saingan berat Dinda dalam segala hal, termasuk                                    dalam pemilihan Siswa teladan.
  • Pram : Ayah tersayangnya Dinda nih! Orangnya sebenernya tipe gila kerja, and cuek. Apalagi setelah ditinggal sama istrinya alias Bundanya Dinda. Tapi, sebenernya dia orangnya sabar, asyik, dan baik banget..Diam – diam bapak setengah baya ini memendam rahasia besar lho!
  • Tante Tari : Pengusaha sukses yang juga adalah Ibu setengah baya yang masih awet muda dan Cantik. Orangnya lemah lembut dan baik. Sekarang ia menjalankan perusahaannya bersama suami ke duanya.
  • Sintya : Perempuan misterius yang tiba – tiba muncul dalam kehidupan keluarga Dinda. Ia membuat Dinda bertanya – tanya tentang siapa Dia dan ada hubungan apa diantara ia dan ayahnya. Perempuan ini type orang yang lembut dan suka memendam rahasianya.

Buku Kenangan Bunda

BUKU KENANGAN BUNDA

Kupandangi sekali lagi kertas berwarna biru muda yang sejak tadi tergeletak di meja. Undangan reuni yang hampir setiap tahun selalu mampir di rumahku selama tujuh tahun ini dan tak pernah kubaca, apalagi kutanggapi. Huh! Desahku. Entahlah, aku sendiri tak tahu perasaan apa yang menyelimutiku. Tapi yang jelas aku malas dan kesal mengingat kejadian – kejadian tujuh tahun lalu itu. Dan itulah yang membuatku terus membuang undangan itu ke tempat sampah setiap kali kertas merah muda, atau lain kali berwarna biru, atau warna lainnya itu mampir ke rumahku.

“ nda, masih nggak mau datang?” Anugrah, sosok yang telah beberapa tahun hidup bersamaku, seperti tahun – tahun sebelumnya menanyaiku.

Aku hanya diam.

“ emang  bunda nggak kangen sama temen – temen bunda? tuh, mereka selalu ngirim undangan tiap tahun, pasti pada kangen sama bunda.”

aku masih diam.

Mereka rindu padaku? Rindu pada orang yang tak pernah mereka anggap keberadaannya? Rindu pada orang yang tak pernah mereka hargai jerih payahnya? Oh, tidak!! Tak mungkin mereka rindu padaku.

“ nda, emang apa sih yang bikin bunda ga mau datang ? malu punya  suami kaya prince charming gini? hm?” tuh kan? Mulai deh…! Biasa, memuji diri sendiri..!

Aku masih diam menatap wajah cengengesan di depanku yang ingin sekali rasanya kucubit.

“huu…..nggak ya…kalo diliat sama orang buta dari Monas sih emang mirip….he…he…”

waaaaa ………cepat – cepat kubergegas menuju dapur sebelum kebiasaan tangan mas Aan kalau kuledek berhasil menarik ujung kerudungku. Weee….ga kena!

……………………..

Mas Aan sedang istirahat, tidur mungkin. Sedangkan Farhan dan Farah belum pulang dari TPA. Sendirian di dapur membuatku terhanyut ke masa lampau. Mengukir kembali kenangan – kenangan masa itu.

“ May, ini ada beberapa lomba, kamu boleh pilih yang kamu suka dan cari teman – teman untuk yang beregu.” Pak Hendri menyodorkan secarik kertas di depanku.

Lomba cerdas cermat…….Mengarang….. MTQ…. Debat antar SMU….pidato…nasyid…cerdas cermat sosiologi..geografi…dln…mataku terus menyusuri baris – demi baris pada kertas berukuran A4 tersebut. Hm…boleh juga, pikirku.

“gimana May? Bisa?”

“ ya pak, makasih ya pak, nanti saya cari teman.” Sahutku.

Setelah beberapa menit aku tiba di kelas, tim langsung terbentuk. Walhasil, walaupun hanya masuk lima besar di pidato dan hanya juara tiga dalam nasyid, tapi dalam cerdas cermat kami berhasil masuk sepuluh besar sekota Bogor, dalam mengarang aku berhasil mendapat juara dua dari seratus lima puluh peserta, MTQ…cerdas cermat sosiologi, geografi…berhasil kami dapatkan peringkat dua, debat…timku juara dua sekabupaten dan kotamadya! Perasaan senang meliputiku.

Namun tampaknya kebahagiaan dan kebanggaan karena telah berprestasi untuk sekolah tak bertahan lama. Hancur lebur pada hari kuterima buku tahunan, buku kenangan. Aku kesal. Mengapa diantara profil teman – teman berprestasi tak ada photo dan profilku?

Kuteliti sekali lagi lembaran – lembaran itu. Benar – benar tak ada! Lalu kutelusuri photo – photo lain yang tertera di sana. Di sana kutemukan nama Indra dengan prestasi sepuluh besar di kelasnya, juara dua debatnya, lalu ada Sintya dengan juara dua MTQ-nya, lalu Riesma dengan juara dua lomba debatnya, lomba pidato-nya, juara dua MTQnya, dan nama – nama lainnya. Lalu di mana namaku   ? aku memang bukan anak konglomerat kaya seperti halnya Dio, anak pejabat yang juga berprestasi dan menjabat ketua OSIS itu, tapi apakah aku yang juga sebagai anak baru dan langsung bertahan menduduki peringkat satu dan langsung terpilih sebagai Sekum Rohis  selama ini tak lebih baik dari pada sepuluh besarnya Indra? Apakah karena jabatannya yang lebih tinggi? Apakah aku yang jadi Qori-nya waktu MTQ tak lebih berharga dari pada teman – teman yang mendampingi? Atau peranku dalam debat kemarin tak pernah dianggap? Usahaku yang mati-matian mempertahankan nama sekolah kemarin percuma?

Aku hanya diam ketika teman – teman saling berbangga. Apa kurangnya aku, sehingga dilupakan? Prestasi sekolah oke,  tak ada acara yang berlangsung tanpa ada aku sebagai panitia ataupun pengisi acara, atau bahkan kedua – duanya. Entah sebagai MC, pembuka acara, pengisi hiburan, nasyid, drama, puisi….atau..bahkan pernah dari awal hingga akhir aku mengisi sebuah acara besar di sekolah. Lalu ?

“ehem….!”

Deg!!

Deheman khas mas Aan mengagetkanku. Entah kenapa, walaupun telah sekian seratus kalinya ia mendehem aku masih kaget.

“duh..serius amat ngelamunnya. Tuh ampe gosong semua…”

o….o…. malu deh, huu…pasti aku diledek habis – habisan lagi nih…! Satu…dua….ti…

“nda,….”   Tuh kan..?

“ apa? Mau ngeledek lagi ? ayo…cepetan ngeledeknya”

“hm…jelek deh, siapa yang mau meledek? “

O…o..ternyata bukan ledekan tho..

“hm…?” jawabku sambil mematikan kompor.

“ terkadang manusia bisa lupa, jadi…ketika apa yang telah kita perbuat untuk orang lain dilupakan, kita harus ikhlas. Biarlah  Allah yang akan membalas amal kita tersebut.” Dahiku mengernyit. Mas tahu?

“tapi…..yang nda masalahkan bukan itu mas, nda ikhlas dengan semua yang nda lakukan…tapi….” Suaraku tersekat.

“ya…tapi nda ingin  dihargai sedikit kan?” ah, mas Aan selalu tahu pikiranku.

“ mungkin saat itu mereka lupa, tapi ingat nda..Allah tidak  pernah lupa. Cobalah untuk ikhlas sedikit…lagi, abisin deh…”

“nda udah ikhlas…ikhlas..I-K-H-L-A-S .”

“tuh kan…..jo…cantik juga kalo cemberut, coba lagi…”

“auk ah..lap!..”  hm…masku ini selu aja bikin aku nggak jadi marah. Gimana nggak? Orang marah – marah malah dipuji – puji, aku kan paling sebel kalau ada yang memuji… malu! He…he..

………………………..

Akhirnya setelah ceramah panjangnya mas Aan, aku berangkat juga. Sengaja kusuruh mas Aan yang sedang libur menungguku agak jauh dari deretan mobil mengkilap di depan gedung sekolah. Memori masa lalu kembali terbayang di kepalaku. Gedung ini…kelas ini… lapangan bola tempat yang dulu kerab kutongkrongi hamper tiap sore.. lapangan rumput yang dulu sering dipakai bermain softball..sudah berapa lama ya aku tidak menginjakkan kaki di sini? Setelah puas bernostalgia sendiri, barulah kulangkahkan  kaki menuju aula tempat pertemuan itu.Namun, baru beberapa langkah kakiku menyentuh lantai gedung serba guna itu..

“ May….apa kabar ? sini… kangen deh sama kamu…” suara Sintya memanggilku dan bergegas menghampiriku yang masih mematung, lalu disusul riesma, Indra…dan teman – teman lainnya yang ikut menyalamiku yang masih bingung.

“kita kangen lho sama kamu May…”

“Iya…abis nggak pernah ngasih kabar….” Sintya menimpali.

“apalagi dengan puisi – puisi lo…cerpen lu..kaya’ dulu, dulu mah kita bisa maksa lu bikin may… sekarang mo baca aja harus beli bukunya..”

haa…?? Aku bengong. Begitukah? Tapi…tapi kenapa dulu…?

“teteh..!” sebuah wajah oval  mengembalikanku ke aula itu. Teman – temanku yang tadinya antusias ikut bingung. Ocha? Pimpinan redaksi buku tahunan itu? Mau apa dia?

“teh, pertama ocha minta maaf ke teteh, teteh inget nggak ada yang kurang di buku tahunan itu?.

Aku diam. Pasti.

“kenapa?”sahutku.

“iya teh, kita minta maaf, profil teteh waktu itu kececeran… jadi nggak kecetak. Maaf  ya…jadi nggak ada profil teteh deh, tadinya tahun berikutnya kita mo minta maaf ke teteh, tapi sampe tahun ketujuh teteh nggak datang – datang…”.

Apa??! Aku tak percaya… jadi…Cuma gara – gara ini aku harus “ngambek” bertahun- tahun? O….my God…!

“Kring…” Nokia hadiah dari ibu mas Aan, yang terus memaksaku untuk menerima apa saja hadiah darinya, di tasku berdering.

“halo, assalamu’alaikum o…mas, aku masih lama di sini, tolong jemput aku tiga jam lagi aja ya..!.” Klik! Kututup telpon, lalu kumasukkan ke tas kembali. Bisa kubayangkan wajah bingungnya. Ah, Mendadak aula itu terasa begitu ramah dan hangat di hatiku. Akupun tenggelam dalam indahnya jalinan persahabatan hari ini. Terima kasih ya Allah, telah kau bukankan hati ini.. Terima kasih sahabat…..                                   ……..selesai………

Amplop Penyesalan

AMPLOP PENYESALAN

“ Pak…cakit…akit paaak…”

“ Pak, pulang…..”

Suara rintihan bocah kecil belahan jiwaku selama empat tahun ini terus menggema di telingaku. Sosok kecil lemah akibat diserang demam  berdarah itu kini terbaring di bangsal ekonomi yang selalu padat dengan pasien berekonomi rendah di rumah sakit kecil di pinggir desa.

Hanya berangan – angan yang bisa kulakukan, Seandainya punya cukup gaji, tentunya aku akan membawanya kerumah sakit yang besar.. atau bahkan kalau perlu aku akan membawanya ke rumah sakit nomor satu.. seandainya..

Ah! Kenapa aku ini?

Kucoba merebahkan tubuh perlahan di atas tikar pandan lusuh yang mengalasi lantai rumah petak kecil itu. aku akan memejamkan mata barang sejenak, karena nanti malam aku akan bergantian menunggui si kecil dengan istri dan adik-adiknya. Namun lagi-lagi gaungan itu kembali bergema di telingaku….

“ Pak….mak….akit…..”

“ Aan mo pulang…..hik…hik… pak…pulang…”

Oh tidak! Kini gaungan itu semakin ramai dengan suara-suara lainnya, .menenggelamkan suara malaikat kecilku yang semakin lemah itu, semakin hilang…

“Mat, gw denger anak lo masuk rumah sakit. Sakit apaan?”

“Iya Pan., DBD.” topan adalah teman sepermainanku sejak kecil. Tapi nasib kami ternyata begitu berbeda. Bahkan sekarang kudengar ia sudah jadi caleg sebuah partai besar. Sedangkan aku, harus puas dengan pengahasilan pas-pasan, hanya untuk makan sekeluarga.

“Trus lo ada duit?”“ ada dikit Pan, tapi mungkin cuma untuk tiga hari ini aja” ingatanku kembali melayang ke kamar berdinding putih berseprei dekil and sumpek.

“Mau gw Bantu?” Topan menghisap rokoknya dalam – dalam.

“Bener Pan? makasih banyak…Pan!”

“Ya udah, ntar malem lo ke rumah gw.”

Dialogpun berakhir. Aku tersenyum dengan penuh terima kasih. Terbayang langsung di benakku, Aan. Aku akan membawa malaikat kecil itu ke rumah sakit di kota.

Sementara itu Topan memandangi punggung Mamat yang semakin menjauh dengan senyum penuh arti.

………………….

Mataku terasa sangat lelah, namun belum juga mampu kupejamkan. Peristiwa tadi malam kembali membekas di benakku. Semalam, aku  mendatangi rumah istana desa itu dengan membawa harapanku, kepada Topan.

Tak lama setelah mengetuk pintu, lelaki setengah baya yang amat akrab di masa kecilku itu keluar menemuiku. Amplop putih tergenggam di tangannya yang beberapa menit kemudian telah berpindah ke tangan kasarku. Maklum, aku bekerja sebagai kuli bangunan, makanya tangan-tanganku jadi kapalan dan kasar.

“Itu uang buat lu, sisanya lu bisa beli apa aja juga masih lebih.”

“Terima kasih Pan, kalau lu nggak membantu, aku nggak tahu lagi harus berbuat apa.”

“Sudahlah mat, gw Bantu lo apa aja..tapi lu jg bantu gw..”

“Bantu apa Pan?” bingung dan heran. Bantuan apa yang diharapkan orang kaya sepertinya dari orang miskin sepertiku?

“Gw Cuma minta suara lu sekeluarga aja kok, gampang kan?”

“Suara? Maksudnya?” Aku mulai bingung.

“Ha..ha.. mat, Lu jangan belagak nggak ngerti. saya Cuma minta suara kamu sekeluarga aja, elo, Istri, ibu bapak, dan adik-adik lu pas pemilihan nanti, gampang kan?”

Amplop putih dalam genggamanku seakan berubah menjadi bara api. Panas. Bagaimana mungkin desa ini akan di pimpin oleh orang yang mendewakan uang seperti Topan? Orang yang kerap kali justru membawa sumber maksiat? Yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta? Suara? Kami memang tak memiliki harta untuk membangun desa ini. Jangankan memberi orang lain, untuk makan sehari – haripun terkadang susah.. hanya suara itu yang kami punya untuk disumbangkan untuk desa ini.tapi sekarang…akankah kuserahkan harta kami satu – satunya  itu?

Kuangsurkan kembali amplop itu. Tanganku terasa bergetar.

“Sudahlah mat…gw tahu lu sangat butuh itu. Gw kan teman lu Mat. Pokoknya begitu gw kepilih, hidup lu akan baik Mat. Lu nggak usah nguli lagi, nanti gw kasih kerjaan. Gimana? “

“Tapi…Pan…” Aku ingin berontak! Tapi suaraku tersekat di tenggorokan. Tatapan Topan terasa semakin menghujamku, merongrong dinding hatiku.

“ Hm.. ok, begini saja, lu bawa saja dulu uang itu, sambil memikirkan tawaran gw tadi”

Aku mematung terdiam. Sosok sinar harapan di depanku tadi telah menjelma menjadi sosok srigala yang siap memangsa, lalu berubah lagi menjadi harapan – harapanku, demikian seterusnya. Aku tak bisa berkata-kata, kecuali tetap memegang amplop putih itu.

“Pesanku Cuma satu, ingat anak dan istri lu Mat, istri mana sih Mat yang nggak pengen hidup senang? Dengan anak yang sehat, hidup berkecukupan.. ingat, Ok?” Topan menepuk bahuku. Ingin rasanya aku menepiskan dan mematahkan tangan itu, tapi lagi – lagi tanganku tak bisa bergerak. Semua terasa berputar di kepalaku.

Anakku…uang itu….suara merdu istriku…anakku lagi…? terbayang di khayalnya sosok lincah anaknya yang bergembira ketika dibawakan mainan setiap minggu, atau bahkan setiap hari. Makanan enak. Tapi…semua kembali berputar-putar. Mengantar lelaki itu ke negeri mimpi. Pulas.

***********

Senja mulai menutup tirai siang. Dengan tergesa – gesa kujejakkan langkah di depan bangunan putih itu. Sesekali tanganku reflek merogoh kantong jaket, memastikan apakah amplop putih itu masih ada di sana. Tadi, beberapa saat setelah tertidur, pak Martoyo, lelaki separuh baya yang sudah belasan tahun menjadi tetanggaku itu membangunkanku.

Lastri, Istri yang baru beberapa tahun lalu kunikahi menelphon dan mengabarkan Anugrah, belahan hati kami bertambah parah dan lemah. Sedangkan pihak Rumah sakit tidak juga menangani karena resep-resep yang belum tertebus.

“ Mas… anak kita mas.. Anugrah…!” Tangis Lastri, perempuan yang kucintai itu menyongsong langkahku di depan kamar rumah sakit.

“Tenang dek, tenang… mas bawa uang banyak.. kita akan tebus resepnya. Mana resepnya dek?” Aku berusaha untuk melukiskan senyum di wajahku, sebelum akhirnya pudar ketika wanita yang biasanya tegar di hadapanku itu kini tertunduk lesu. Air mata menetes di pipinya.. Perasaan takut mulai menyelimutiku. Mungkinkah…?

“ A…a..ada a..pa dek?” tanyaku perlahan. Hatiku berusaha menepis semua prasangka buruk yang mulai meyelimuti hatiku.

Lastri tetap bungkam. Sepi sesaat, hanya hening mencekam, sampai akhirnya tangis perempuan itu meledak di pelukanku.

“Mas, anak kita telah pergi lima menit yang lalu…”

BUG!! Seakan ada palu tak terlihat memukul kepalaku. Lututku tak lagi bisa menyangga berat tubuhku. Kucoba mencari dinding untuk bersandar. Tanpa sadar tanganku dimasukkan ke dalam kantong jaket. Tanganku tampak menarik sesuatu dari kantong kumal itu. Amplop putih itu!

“Astaghfirullahal Adzhiim….” Desisnya terdengar lirih, sebelum semua terasa berputar. Gelap.

****end****

Depok, 21 Juni 2005 11.05pm

SMS bagian 15

MERENGKUH CINTA-NYA

Tuuutttt.. tuuutttt..!

Huff. Shin menekan “end call” di handphonenya, lalu  menekan nomor yang sama sekali lagi, kali ini dengan pesawat telpon yang tergeletak di atas meja kecil persegi di depannya. hatinya penuh dengan rasa gusar, cemas, dan sedih.

Mama? Papa? Kemana mereka gerangan? Mengapa tak ada satupun yang mengangkat telpon? Atau memang mereka tak ingin menerima telpon? Dan handphon.. Mengapa dimatikan? Apakah memang benar – benar hati itu telah tertutup baginya untuk selama – lamanya?

“Ya Allah, aku.. rindu papa, mama..” Shin tak kuasa untuk menahan air mata yang berebut keluar dari sudut matanya. Ia menangis.

………………….

“Shin..”.

Indra memanggil sosok Shin yang masih memandangi dirinya di depan cermin. Pakaiannya sudah rapi, seperti halnya pakaian Indra ketika ia datang tiga tahun lalu. Setelan kemeja putih dibalut dengan jas hitam. Shin tidak pernah menyangka ia juga akan menikah di negeri ini. Lagi – lagi semua diurus oleh Indra, sahabatnya. Awalnya Shin Indra menanyai Shin dan mengatakan bahwa teman Rani, istrinya, sudah ada yang siap nikah. Indra menanyakan kesiapan Shin. Shin kira Indra bercanda, karena sejak dulu kan emang sifat Indra suka iseng sama Shin. Tapi, ternyata Indra seratus persen serius. Dan biodata yang diterimanya adalah biodata… Reina!. Entah kebetulan atau memang itulah kehendak Allah!!.

Awalnya Shin agak bimbang. Shin ragu, apakah nanti ia bisa menjadi suami yang baik, apalagi untuk seorang Reina yang mengenal Islam jauh lebih lama daripada Shin yang baru dua setengah tahun. Banyak tentang ajaran islam yang masih harus ia pelajari. Satu lagi, Reina adalah gadis yang hidup dalam keluarga yang berkecukupan, sedangkan dirinya? Dapat ngontrak aja rasanya Shin sudah sangat bersyukur…

Shin mengemukakan beberapa alasannya kepada Indra dan ustadz Imam, guru ngajinya. Termasuk masa jahiliyahnya semasa SMU dulu. Tapi semuanya ditolak mentah – mentah. Menurut Indra, alasan Shin nggak Syar’I dan terkesan mengada – ada.

Sebulan lebih Shin bergelut dengan kegelisahan dan memohon petunjuk dari Allah SWT, sebeluma akhirnya ia menyatakan persetujuannya.

“Shin…”. Sekali lagi Indra memanggil Shin.

“Eh, iya..”. Shin memalingkan wajahnya ke asal suara. Indra tersenyum menatapnya.

Are you oke?”. Indra menghampiri Shin.

Shin mengangguk.

“Memikirkan orang tuamu?”. Tebak Indra.

Shin terdiam sesat sebelum akhirnya mengangguk.Indra mengerti. Indra memeluk Shin, seakan ingin berbagi sedih itu.

Tak lama kemudian dua sahabat itupun bergabung dengan kerabat Indra dan teman – teman mereka yang siap – siap berangkat menuju mesjid yang dulu juga tempat Indra melangsungkan pernikahan.  Shin langsung teringat ucapan Reina waktu mereka berpisah dulu.. kalau kita jodoh, pasti Allah akan berkehendak mempertemukan kita lagi… ah, Allah memang selalu memiliki rencana yang tak diketahui ciptaannya.

…………………

Mesjid di mana akad nikah Shin akan dilangsungkan sudah ramai dengan teman – teman kerjanya, sekaligus panitia pernikahan anak bos mereka itu. Lho kok?. Ya, ternyata selama ini Indra yang selalu penuh dengan surprise-surprisenya itu merahasiakan sesuatu yang sangat besar kepada Shin, yaitu tentang Reina yang ternyata adalah putri bungsu pak Anton, bosnya Shin!. Shin sempat hampir membatalkan lamarannya itu lho, gara – gara hal ini. Dari biodata yang diberikan Indra memang di sana tertulis nama Anton Nugraha, sebagai orang tua gadis itu. tapi Shin tak pernah menyangka, kalau Anton yang dimaksudkan adalah Anton Nugraha bos perusahaan tempat di mana ia bekerja.

Tak lama kemudian pengantin wanita segera keluar dari ruang perpustakaan mini di sudut mesjid yang disulap menjadi ruang rias pengantin. Rani yang sedang hamil tua tampak  membimbing Reina yang terlihat begitu anggun. Persis acara pernikahan Indra beberapa waktu lalu. Jubah putih sederhana dengan sedikit modifikasi dengan renda dan bunga melati membalut tubuh semampainya. Sehelai jilbab putih berlapis melati membingkai wajah ovalnya yang terpoles tipis. Manis.

Akad nikah sudah hampir dimulai, tapi pikiran Shin masih melayang ke negeri sakura sana. Hari ini adalah hari yang paling mendebarkan, sekaligus membahagiakan dalam hidupnya. Hanya kini satu yang masih mengganjal di hati Shin. Orang tuanya!. Bagaimana pun Shin ingin sekali mereka bisa hadir dipernikahannya nanti, setidaknya untuk sekali ini. Tapi, berkali – kali Shin berusaha menghubungi mereka, namun hasilnya nihil karena selalu tak ada yang mengangkat telpon.

“Shin… ada yang nyari, katanya namanya, aduh.. lupa lagi.. bapak – bapak, kayaknya dia sama istrinya, itu aku suruh tunggu di depan”. Iman, teman Indra bergegas menghampiri Shin dan Indra yang telah bersiap duduk.

Jantung Shin langsung berdegup kencang. Debaran napasnya semakin tak menentu. Mungkinkah papa? Mama? Tapi Shin segera menyimpan prasangka itu ketika ia menolehkan kepalanya ke tempat yang ditunjukkan Iman. Hati Shin mencelos ketika melihat sosok yang wanita memakai kain  seperti syal di yang tersampir rapi di kepalanya. Bukan. Tak mungkin dua sosok yang membelakanginya itu papa dan mamanya. Tak mungkin!.

Meski tak punya harapan lagi, Shin segera melangkah menemui dua sosok itu. ragu – ragu Shin menegur kedua orang yang masih menjadi tanda tanya di hati Shin.

Tiba – tiba Shin terperanjat dan tak percaya dengan pendengaran dan penglihatannya ketika kedua sosok itu berbalik. Papa.. dan mamanya yang mengenakan jilbab berdiri beberapa langkah di depannya. Shin menajamkan penglihatan matanya dan pendengarannya, seakan tidak yakin dengan yang ada di depannya. Benarkah ini ya Allah? Terima kasih ya Allah..!

“Mama, papa?”. Shin langsung menghambur ke pelukan ke duanya. “Jadi.. jadi karena ini tak ada yang mengangkat telpon dari Shin, dan. Karena ini juga handphon papa dan mama nggak aktif kemarin?”

Seketika suasana haru semerbak mewangi pertemuan orang tua dan anak itu.  Shin tak kuasa lagi untuk tak meneteskan air mata.

Dari cerita papanya Shin tahu, setelah kepergiannya mereka berniat membuang semua pakaian ataupun buku – buku Islam yang ada di kamar Shin. Namun,  mereka menemukan sebuah Al-quran terjemahan, hadiah dari Indra tergeletak di antara buku – buku Shin. Mulanya hanya rasa penasaran yang terbetik di benak keduanya. Tapi mereka tak berani untuk saling berterus terang. Mama Shin membaca kitab itu ketika papanya berangkat kerja, sedangkan papanya selalu membacanya kalau mama Shin sudah tertidur pulas.

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, berganti bulan, berganti tahun. Demikianlah yang terjadi selama tiga tahun. Tak ada yang tahu satu sama lain, sampai suatu ketika, Papa Shin memergoki istrinya sedang membaca buku itu, ketika ia pulang kantor lebih awal dari biasanya. Usut punya usut, akhirnya keduanya mengakui kucing-kucingan mereka selama ini. Setelah itulah mereka sering berdiskusi, dan akhirnya sejak sebulan yang lalu keduanya mulai  mendatangi Islamic center. Dan hidayah itupun datang. Ah, para brother kenapa tak memberi tahukan hal ini? Ah, lagi – lagi sebuah surprise dari-Nya..

“Tapi.. kok papa dan mama tau, hari ini Shin..” Shin bingung. Kedua orang tua itu tak menjawab, tapi menoleh ke arah Indra yang berjalan mendekat menuju tempat mereka berdiri.

“Indra?”

“Ya.”

“Shin..”. Indra memanggil Shin. Shin langsung memeluk sobatnya itu untuk kesekian kalinya. Keduanya bergegas membimbing tangan ke dua orangtuanya menuju bagian depan masjid, tempat akad akan dilangsungkan. Kebahagiaan dan syukur terpancar dari masing – masing wajah mereka.

……………

epilog :

“Saya terima nikahnya Reina Putri Annisa binti Anton Nugraha dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan dua gram emas, dibayar tunai.” Ucap Shin dengan suara bergetar. Mendadak ruangan itu diliputi suasana haru setelah ucapan ‘sah’ terdengar dari kedua saksi. Semua yang hadir tak kuasa untuk tidak meneteskan air mata haru dan bahagia Menyaksikan peristiwa sakral yang menyatukan kedua insan itu. senyum terkembang di setiap yang hadir, seindah  musim semi di negeri sakura. Mekar, Indah, dan mewangi.

………..The End………

SMS bagian 13

RENCANA-NYA MEMANG SELALU YANG TERBAIK

Shin memandang jalan yang semakin sepi dari jendela kamar petak kecil yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Sebuah kotak kecil tergenggam di tangannya. Celengan. Dua tahun sudah berlalu sejak malam menyedihkan itu terjadi. Pekerjaan demi pekerjaan digeluti Shin. Mulai dari jadi tukang kebersihan jalanan, cleaning service hotel, pelayan restoran, dan sekarang menjadi pegawai di sebuah departemen store kecil di tempat Joe bekerja. Hanya itu pekerjaan yang bisa didapatkan Shin tanpa ijazah dan identitasnya. Sebenarnya beberapa brother menawari Shin untuk tinggal bersama mereka, tapi ditolak Shin dengan halus. Shin tidak enak, juga ia ingin membuktikan kepada orang tuanya, ia sanggup melakukan apa saja demi Islam. Selain itu, Indra beberapa kali menyuruhnya untuk datang kembali ke Indonesia dan bersedia mengiriminya uang untuk ongkos. Tapi Shin menolak. Ia memang ingin kembali ke negeri itu, tapi nanti.. dengan hasil keringatnya sendiri. Karena itu Shin selalu menyisihkan gajinya untuk ditabung. Tok! Tok! Tok! Suara ketukan di daun pintu membuat Shin menoleh dan kembali menyimpan kotak kecil di tangannya itu. Shin bergegas membukakan pintu yang hanya beberapa langkah dari tempat duduknya itu. “Cik Moto? What can I do for you?” “Saya.. ingin bicara. We need to talk. Saya harap nak Shin tak marah sama saya”. Cik Moto terlihat gugup, ditambah lagi dengn bahasa Inggris, Indonesia dan logat melayunya yang campu aduk. “Bicara? About? O.. oh, kalau gitu gimana kalau di dalam aja pak?” “Ng.. kalau tak keberatan, di tempat saya saja. Boleh tak? sekali lagi, maaf.” Shin mengangguk, lalu mengikuti Cik Moto dengan bingung. “Shin, I m so sorry..”. ucap lelaki setengah baya itu sekli lagi. tangannya terlihat gemetar. Shin tambah bingung. “Sorry? Untuk apa? Cik Moto kan nggak punya salah sama saya.” “Saya punya salah banyak sekali, waktu itu.. .” Kini lelaki itu kini bersimpuh di depan Shin. Ia menangis. “Maksud Encik?”. Tanya Shin tak mengerti. Lelaki itu tak segera menjawab pertanyaan Shin. Ia langsung bangkit mengambil suatu benda dari dalam kardus besar di pojok kamarnya. Shin segera mengenali benda itu. Tasnya? Tas atau travel bag yang hilang dibawa lari copet? Kenapa ada pada Cik Moto? Atau jangan – jangan.. ah, tidak mungkin!Shin berusaha mengusir prasangka buruknya. “Ini.. apakah beg ini punya Nak Shin?”. “Dari mana Cik Moto dapatkan itu?”. “Maafkan saya, sekali lagi maafkan saya, saya salah waktu itu, saya… saya silap” “Cik, ceritakan pada Shin, tolong..”. Shin menggenggam tangan lelaki itu. Cik Moto segera menyusut air matanya. Ia mulai bercerita. “Dulu.. Awalnya kenapa saya bisa sampai ke sini adalah karena terjebak teman-teman yang menawarkan pekerjaan yang ternyata tidak sesuai dengan apa yang dijanjikannya. Saya tinggalkan kerjaan saya yang sudah beberapa tahun saya kerjakan, lalu ikut ke sini…” Cik Moto menarik napas dalam – dalam. Matanya memancarkan kesedihan dan penyesalan yang amat dalam. “Tapi.. ternyata saya ditipu. Lalu, beberapa minggu berselang setelah keberangkatan saya, saya mendapat kabar kalau anak satu – satunya yang tinggal dengan istri saya terkena demam tinggi dan harus dirawat di rumah sakit. Gaji yang saya dapatkan sebagai petugas kebersihan jalan jelas tidak cukup untuk itu. Untuk meminjam kepada ketiga teman saya jelas tidak mungkin. Joe, juga sama keadaannya dengan saya, Norio.. sudah tak bisa bekerja, sedangkan Oogami juga harus menghidupi keluarganya. Pikiran itu terbetik begitu saja di benak saya ketika… melihat Shin yang kelelahan berjalan malam itu dan saya tau pasti nak Shin tak akan bisa mengejar saya. Pikiran akan keselamatan anak saya membuat saya menjadi gelap mata. Maka terjadilah peristiwa yang menyebabkan tas itu ada di sini…” Cik Moto menarik napas dalam. Shin hanya terpaku diam dan mendengarkan dengan penuh prihatin. “Ngg… Begitulah ceritanya nak Shin, saya baru sekali itu melakukannya, saya benar – benar mohon maaf..”. Air mata kembali mengembang di pelupuk matanya. Shin masih terdiam. Tak pernah terpikir di benak Shin akan menemui realita yang pernah ditemuinya waktu di Indonesia dulu di negerinya yang terkenal dengan kemajuannya ini. “Nak Shin, maafkan saya.. nak Shin boleh melakukan apa saja terhadap saya, asalkan saya dimaafkan…”. “Cik, kenapa bapak tidak cerita waktu saya baru pertama ke sini?”. “Saya tidak berani, I m scare..” “Pak, apa gunanyanya saudara kalau bukan untuk saling membantu? Nggak ada salahnya kalau bapak kesulitan cerita ke saya, bapak kan juga sudah banyak membantu saya.” Cik Moto diam, lalu mengangguk membenarkan. “Ya sudah lah, sekarang ada baiknya jadikan pelajaran saja, tapi Cik Moto harus janji ke saya tidak akan melakukan hal seperti ini lagi, tapi akan cerita ke saya, atau pak Joe, atau yang lainnya, ya?”. “Thank you very much, nak Shin, uangnya akan saya ganti kalau sudah ada uang.” “Tidak usah pak, anggap saja itu infak dari saya, tidak usah diganti, saya senang kalau uang itu bermanfaat untuk Cik.” Ucap Shin. “Shin tak marah ke sama saya?” Shin menggeleng. Cik Moto langsung memeluk Shin dengan penuh terima kasih. Shin menerima tasnya dengan suka cita, walau tak ada lagi uang di sana. “Nak Shin..”. suara Cik Moto kembali menghentikan langkah Shin yang baru hendak keluar dari kamar itu. “Ya?” “Kalau boleh, saya ingin belajar itu, tentang kebaikan hati, kesabaran, agar saya juga bisa berlapang dada seperti nak Shin..”. ucap pria itu takut – takut. “Alhamdulillah.. “ ucap Shin lirih, lalu mengangguk. Ada binar bahagia di sana. Allah memang nggak pernah berbuat sia – sia terhadap hambanya, selalu ada hikmah di balik semuanya. Terbayang kembali wajah papanya, seandainya papanya yang mengucapkan kata – kata itu… Pa, apa kabarmu, pa? ………bersambung ke bagian 14…………

SMS bagian 12

IT’S MY NEW LIFE

Malam mulai terasa larut. Tak terasa, satu jam sudah Shin berjalan tanpa tujuan menyusuri jalan raya Beika. Sesekali lampu kendaraan yang sesekali lewat menyilaukan mata Shin. Travel bag mini berwarna biru laut itu diseretnya dengan lesu. Sebuah tulisan “Swalayan 500 meter” menarik perhatian Shin. Seketika itu juga perutnya berbunyi. Ia merasakan cacing di perutnya menggelepar. Lapar.

“BRUKK!”

Shin merasakan seseorang menabraknya hingga jatuh dan sipenabrak bangkit, lalu berlari dengan kencang tanpa mempedulikan Shin yang terjengkang. Seketika itu juga ia tersadar bahwa tas yang tadi dipegangnya kini sudah berpindah tangan. Orang itu adalah.. Copet!.

“Hei, come back! It’s my bag! ” Shin berusaha mengejar orang bertopi rajut yang membawa lari tas itu. Tapi, orang itu ternyata jauh lebih cepat dari Shin. Sehingga dalam bebrapa detik saja ia sudah menghilang dari pandangan Shin. Menghilang dalam pekatnya  malam.

Shin lunglai. Dalam sekejap ia telah kehilangan semuanya. Ijazah, pakaian, dan dompetnya yang satu lagi yang ada di dalam tas itu. Sejak kecil Shin memang punya kebiasaan memakai dua dompet. Yang satu untuk keperluan tertentu saja, sedangkan satunya lagi untuk uang kecil untuk keperluan sehari – hari. Biasanya ia akan menyimpan yang satu lagi di tas kerja atau tasnya yang lain, sedangkan yang satunya lagi akan diletakkan di kantong celananya. Satu lagi, Shin kehilangan Al-quran mungil yang selalu dibawanya. Shin kembali melirik swalayan yang kini sudah di depan matanya. Shin merogoh kantongnya. Hanya ada beberapa Yen di sana. Tapi, Shin sedikit lega, di sana ada sebuah kartu kredit yang tersisa di sana. Shin berharap ia bisa membeli beberapa makanan yang dapat mengobati perih lambungnya dengan credit card yang kini tergenggam di tangannya. Shin segera menyeret langkahnya yang gontai kesana.

Swalayan itu tak begitu besar dan sudah terlihat sepi. Di sana hanya ada satu kasir yang tampangnya seperti orang Asia, mungkin malaysia atau Indonesia dan satu SPG (Sales Promotion Girl) yang sedang melayani pelanggan di bagian kosmetik. Shin langsung memilih makanan dan keperluan secukupnya, lalu segera membawanya ke meja kasir.

Kasir itu segera menerima kartu kredit yang disodorkan Shin, tapi baru beberapa detik kemudian..

“Sorry sir, you can’t use this card.” kata kasir separuh baya  itu kepada Shin dengan bahasa Inggris yang masih kurang fasih. Tampaknya ia belum lama tinggal di sini (orang pendatang biasanya lebih memilih memakai bahasa Inggris daripada bahasa jepang, karena lebih umum dan mudah). Shin mendadak jadi bingung. Bukankah di sana tertulis tulisan  bahwa.. ia bisa menggunakan credit card?.

“What?! Oh, sorry, but.. ngg, What happened?” Shin menunjuk ke papan yang ada di atas meja itu. kasir itu mengangguk.

“Yeah, but the problem is.. the credit card is rejected…”

Shin terperangah. Mungkinkah ibunya yang melakukan itu kepadanya?.

“How much money did you have?”

“Wait..” Shin membolak balik dompetnya. Bukankah seharusnya ada uang tunai, ATM atau kartu kredit yang lain di dompet ini? Shin was – was. Atau.. jangan – jangan yang ada di sakunya adalah dompet yang salah?. Ya Allah!. Shin baru tersadar. Dan sekarang, pastilah dompet itulah yang ada di tas yang dicuri itu! dengan lemas Shin mengangsurkan beberapa keeping uang logam yang di tangannya,.

“Sir,..” Panggilan kasir mengejutkan Shin.

“Ya..”

“This is, and this from me.”

Pegawai itu lalu mengambil uang yang masih dipegang Shin dan mengangsurkan plastik putih yang berisi barang yang kira – kira seharga uang yang dimiliki oleh Shin.

“Thank you, sir.” Ucap Shin sembari menerima plastik putih itu dan bergegas meninggalkan tempat itu. untunglah swalayan itu sudah tak terlalu ramai, sehingga Shin tak terlalu malu.

Shin langsung duduk begitu menemukan sebuah bangku panjang tak jauh dari swalayan itu. “Ah, setidaknya aku bisa makan dulu sambil meluruskan kaki, sampai aku memutuskan kemana tujuannya nanti.” pikir Shin.

Shin segera membuka bungkusan makanan yang seadanya itu. Setelah menghabiskan potongan – potongan roti itu, sebuah suara menyapanya. Shin segera menghentikan kunyahannya. O, ternyata wajah Asia kasir swalayan yang tadi.

“Sorry, sir. I disturb you?.”

Oh, no. What can I do for you?” Shin menjawab dengan

No, My name is Joko, but my friends call me..Joe.” Sosok separuh baya itu langsung mengulurkan tangan. Shin menyambutnya dengan ragu – ragu.

“Shin..”. ucap Shin,“You are from malaysia, or.. Indonesia?

“I m Indonesian, sir.”

“O.. kebetulan sekali.”

“You are..”

“Oh, no”potong Shin,” tapi saya pernah tinggal di sana, beberapa tahun.”

“Tuan tinggal di mana? Rasanya saya baru melihat tuan di daerah sini, atau baru pindah?.”

“Panggil saja saya Shin, saya memang baru ke sini pak, saya… saya belum punya tempat tinggal.”

Oh,sorry.

“Tidak apa, orang tua saya sudah mengusir saya karena tahu saya masuk Islam..”.

“Benarkah?”

Shin mengangguk pelan.

“Kalau begitu tinggallah dengan saya nak Shin.”

“Tidak pak, terimakasih.” Tolak Shin halus.

“Saya mohon, stay with me, please.”

“Tapi pak…”.

“Saya mohon nak Shin, setidaknya untuk sementara.. ya?”.

Seandainya yang memohon kepadanya untuk tetap tinggal ini adalah papanya, tentu Shin akan langsung mengangguk. Shin menatap wajah yang sudah mulai dimakan usia itu sekali lagi. walau tak mengerti apa yang membuat lelaki itu bersikeras menyuruhnya tinggal, tapi akhirnya mengangguk juga pelan. Shin segera mengikuti langkah pak Joko alias Joe (panggilan teman – temannya).

Ternyata tempat tinggal pak Joko atau Joe tak jauh dari swalayan itu. Di aparteman yang sudah hampir bobrok itu masih ada beberapa teman. Joe langsung berteriak begitu membuka pintu dan mempersilahkan Shin duduk.

“Hei.. sini semuanya..”

Dua orang seusia Joe tampak keluar dari satu kamar, sedangkan seorang lagi, yang sudah lanjut usia keluar dari kamar yang berseberangan dengan kamar itu. Mereka semua segera menghampiri Joe.

“Perkenalkan, mulai sekarang anggota keluarga kita akan bertambah satu orang, his name is Shin. Shin, ini pak Oogami asli sini. Sedangkan ini Moto dari Thailand, dia pernah kerja di Malaysia untuk waktu yang cukup lama, jadi sering kita panggil cik Moto, ia baru beberapa bulan ini di sini, dan ini pak Norio, juga asli sini dan di sini sejak usahanya bangkrut beberapa tahun lalu”.

Shin mengulurkan tangan. Ketiganya langsung menyalami Shin secara bergantian. Semua menyambut Shin dengan ramah, hanya saja Cik Moto yang terlihat agak canggung kepada Shin. Mungkin karena tidak biasa bertemu orang baru, pikir Shin.  Lalu keempatnya langsung mengajak Shin ke sebuah kamar kecil yang penuh dengan barang – barang. Shin memandang seluruh sudut kamar kecil itu, inikah yang akan menjadi kamarnya?. Tapi akhirnya, Shin segera membantu keempat orang itu. Jeritan – jeritan kecil Shin membuat semuanya tertawa. (Tahu kenapa? Shin takut sama kecoa sodara – sodara! )

Sambil bersih – bersih, semuanya menceritakan tentang pekerjaan mereka. Cik Moto ternyata bekerja sebagai cleaning service di sebuah hotel. Lalu pak Oogami bekerja sebagai pelayan restoran, sedangkan pak atau kakek Norio sudah tak bekerja. Tapi jangan salah lho, biar sudah kakek – kakek,  pak Norio ini justru paling terkenal masakannya di antara ke tiga orang lainnya!.

Alhamdulillah!. Shin memandang lega kamar yang tadi berantakan. Ajaib! Kamar yang tadinya Shin kira tak akan bisa selesai dibersihkan malam ini, ternyata bisa dibersihkan dalam dua jam rapi seketika! (kayak iklan aja! He-he..). Shin langsung teringat, ia belum shalat Isya!. Shin lalu melangkah mengambil wudlhu.

“Ya Allah, berikan kesembuhan kepada papa dan semoga Allah membukakan hati keduanya untuk menerima hidayah dari-Mu. Kuatkanlah hamba-Mu ini dalam menjalankan hidup yang keras ini, agar hamba tetap istiqomah di jalan-Mu, karena kekuatan dari-Mu hamba hanyalah manusia kecil yang tidak berdaya..” (Amien). Ada setetes air mata di sana.

Selesai Shalat, Shin segera membaringkan tubuhnya di kasur usang di sudut kamar itu. Sebuah seragam petugas kebersihan teronggok di sampingnya. Lho kok? Iya, tadi Cik Moto yang bekerja sebagai petugas kebersihan jalanan itu menawari Shin untuk ikut dengannya besok, sementara yang lain mencarikan pekerjaan yang lebih baik. Shin menurut. Ia tak punya pilihan. Tanpa ijazah, ia tak akan bisa mendapatkan pekerjaan, kecuali yang begini ini, petugas kebersihan jalan dan pekerjaan sejenis lainnya.

…..…bersambung…………

SMS bagian 9

BUKAN ISLAM YANG SALAH..

Cahaya matahari mulai meredup, menandakan hari sudah sore. Shin terbangun dari tidur siangnya ketika mendengar suara ribut dari kamar yang berjarak beberapa kamar dari kamarnya. Shin segera mencari asal suara itu. Shin mengenali itu sebagai suara mama dan papanya yang sedang bertengkar. Ia memandang jam antik yang menempel di dinding kamarnya yang cerah. Pukul 4. pm.

“Ma, serahkanlah semua pada Shin, biarkan dia yang ambil keputusan.”

“Nani?! Apa papa ingin dia pergi lagi ke Indonesia dengan anak perusak itu, lalu memeluk agama pembawa teror itu? no.. tidak! kita akan malu kalau dia jadi pengikut agama teroris itu..”

“Tidak, bukan itu maksud papa, aku sudah punya rencana. It’s good idea.”

Shin seperti terpaku di dinding. Shin tidak berniat menguping, karena itu bukanlah sifatnya. Tapi ini menyangkut dirinya, menyangut hidupnya. Ia harus  tahu.

“Sejak dulu mama selalu berhasil menjauhkannya dari anak itu, si Indra itu.. sampai papa menghancurkan semuanya. Gara – gara papa izinkan dia ke Indonesia… sekarang… aaagrh, mungkin sebentar lagi dia akan membom rumah ini!”

Shin tak kuasa lagi untuk tak menyela.

“Ma, agama itu tidak seperti yang mama kira, sonna-koto nai-yo!”. Shin akhirnya memberanikan diri muncul tiba-tiba karena tak tahan lagi dengan apa yang didengarnya. Suaranya  menggetarkan ruang berdinding kuning gading itu. Kemunculannya yang tiba – tiba semakin membuat ibunya semakin marah.

“Tidak seperti itu apa? Kamu nggak lihat berita Koran, tv? Kamu nggak tahu kan ada apa di sana? Bom!.” Tangannya teracung di depan muka Shin. Papa Shin berusaha menenangkan Istrinya yang tampak mulai kalap itu.

“Yang salah bukan agama ma, Islam nggak salah.. apa mama Cuma melihat Jakarta? Kenapa nggak melihat yang lainnya? umat islam lainnya? di Philipines, aussy..” Shin berusaha menjelaskan apa yang ia pahami selama beberapa waktu ini, sejak kepulangannya dari Jakarta beberapa hari yang lalu. Ia memang belum memutuskan untuk segera memeluk Islam dan masih dalam status mempelajari, tapi itu cukup menjawab pertanyaannya atas pernyataan itu tadi.

Papanya memegang pundak Shin, mencegah agar Shin tak terpancing dalam emosi ibunya yang mungkin sebentar lagi akan meledak kalau lelaki separuh baya itu tidak menghentikannya. Tapi diam – diam di hatinya lelaki yang dikenal sebagai pengusaha sukses itu sebuah rencana telah tersusun dengan rapi dan sempurna.

Nani-ga chigau-no?”

Nani-ga chigau-no? Jelas ma, jelas beda, ma.. kalau ..”

“Sudahlah, ma, Shin.. Sore-wa ato-dehanaco. Ok? Oh ya, nanti malam ada undangan pesta, Yumi’s birthday, kamu nggak lupa kan Shin? Ma?.” Potong papa Shin dengan nada bijaksana. Ia memandang istrinya dengan tatapan penuh arti, yang tak diketahui oleh Shin.

Wanita setengah baya itu mengangguk, Shin Shin-pun ikut mengangguk.

“Ok, oh ya, Shin.. May I borrow your phone cellular?.”

“Untuk apa ma?”. Shin tak mengerti dengan permintaan mamanya. Tapi pelototan mamanya akhirnya membuat Shin mengangguk.

Shin kembali ke kamarnya setelah menyerahkan handphonnya. Rasa ngantuknya hilang sudah. Indra, Shin harus bicara sama Indra.

Aduh!! Shin tiba – tiba menepuk jidatnya. Tiba – tiba ia  mengerti mengapa mamanya meminjam alias menyita handphon itu. Bagaimana ia akan menghubungi Indra atau teman – teman lamanya tanpa handpon itu?. Untuk ke telpon umum rasanya tak mungkin saat ini. Bagaimana kalau  papanya memanggilnya ketika ia sedang pergi nanti? Shin tahu pasti kebiasaan papanya itu sebelum pergi ke pesta, yaitu menyuruh Shin memilih pakaian yang akan dipakainya, atau meminta penilaiannya atas sederatan pakaian , sepatu, dasi yang cocok untuk pria seusianya!. Telphon di ruang tengah atau ruang tamu? Oh, Tidak. Jam – jam begini biasanya wanita setengah baya itu biasanya pasti sedang menonton drama kesukaannya di ruang tivi. Mamanya tak akan mengizinkan ia mendekati tempat itu dan pasti ketahuan. Dan lagi.. yang paling penting adalah tak satupun nomor telpon teman lama yang diingatnya di luar kepala, semua memorinya ada di handpon itu!

Shin berjalan mondar-mandir di depan jendela kamarnya. Nomor – nomor telpon, catatan teman – teman yang di Indonesia, semua tersimpan di handpone itu. Tapi.. tunggu, mata Shin langsung berpaling ke arah meja belajarnya. Laptop.. oh ya, Internet!

Shin terpekik girang. Bukankah Indra juga memberinya alamat emailnya? Dengan cepat diambilnya sebuah kertas yang menjadi pembatas al-quran terjemahan dari balik lipatan pakaian di lemarinya. Dengan cekatan ia menghidupkan laptop mungil yang tergeletak di atas meja, lalu membuka emailnya, lalu mengetikkan beberapa paragraf kata Mudah – mudahan nanti malam Indra membuka emailnya. Shin berharap cemas.

….. ………….

Perkiraan Shin tepat sekali. Indra membuka email dari Shin tepat setelah Shalat Isya, sambil menunggu makan malam siap. Keningnya berkerut ketika membaca kalimat demi kalimat dalam email itu.

“Sedang apa kak? Kok kayaknya bingung banget?” tanya Rani yang ikut kebingungan melihat kerut – kerut di kening Indra.

“Ah, nggak. Email dari Shin.”

“Shin? Shin yang kemaren datang kita nikah?”

Indra mengangguk, lalu meninggalkan layar yang masih terkembang di depannya itu. Sekarang tangannya sedang sibuk membongkar dokumen – dokumen yang ada di atas meja kerjanya. Kertas – kertas yang tadinya tersusun rapi, mulai berserakan. Rani langsung geleng – geleng, lalu meninggalkan kamar itu, menuju dapur. Gimana nggak? abis ruang kerja Indra yang aneh bin ajaib langsung kayak kapal pecah!.

Tapi tampaknya Indra tidak sempat menghiraukan tatapan heran istrinya. Kini tangannya beralih mengeluarkan segepok kertas yang ada di laci mejanya. Matanya langsung berbinar ketika menemukan kertas yang dicarinya.  Lalu Indra kembali sibuk dengan komputernya. Mengetikkan huruf yang tertera pada kertas itu.

…………….

Shin mengahampiri laptop yang ia tinggalkan tadi dengan tergesa – gesa dan penuh harap. Pesta yang membosankan setengah mati itu membuatnya pamit pulang duluan, ditambah lagi rasa penasarannya dengan balasan email yang ditunggunya. Ada sebuah pesan di inbox-nya. Shin tak sabar untuk segera membuka email balasan dari Indra.

Mata Shin semakin menyipit membaca tulisan yang dikirimkan Indra. Nama sebuah tempat. Islamic Center? lengkap dengan alamatnya? Brother Yasin? Siapa itu?. Yah, yang dikirimkan Indra ternyata bukan memberinya masukan atau nasehat, tapi justru Indra mengirimkannya sebuah alamat dan sebuah nama yang kata Indra bisa membantunya. Shin bimbang dan terlihat ragu. Orang yang disebutkan Indra itu adalah orang yang tak dikenalnya, bagaimana mungkin orang itu dapat membantu kebingungannya?. Tapi, ada baiknya ia mencoba. Siapa tahu Indra benar. Shin merebahkan tubuhnya yang penat, setelah print out alamat dan nama itu dilipatnya dengan rapi dan dimasukkannya ke dompet. Ia akan ke sana besok sore, sepulangnya dari kantor.

……………………..